Jumat 29 Nov 2024 21:18 WIB

Komnas Perempuan: Stop Salahkan Korban Kekerasan!

Publik dinilai semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi.

Rep: Antara/ Red: Qommarria Rostanti
Perempuan korban kekerasan (ilustrasi). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta publik agar berhenti menyalahkan korban (victim blaming)
Foto: Foto : MgRol112
Perempuan korban kekerasan (ilustrasi). Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta publik agar berhenti menyalahkan korban (victim blaming)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak jarang ketika kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi, muncul narasi yang menyalahkan korban. Pertanyaan seperti "mengapa diam saja?", "kenapa tidak melawan?", hingga "kenapa baru lapor sekarang?" tanpa disadari bisa jadi semakin "memperburuk" kondisi korban kekerasan baik itu kekerasan fisik, seksual, atau psikologis.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan meminta publik agar berhenti menyalahkan korban (victim blaming) yang menjadi korban kekerasan. "Mendorong publik berhenti menyalahkan perempuan. Setop menyalahkan korban kekerasan termasuk berhenti menyalahkan seakan-akan perempuan sumber dari kekerasan itu," kata anggota Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam acara media talk bertajuk "Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan: Lindungi Semua, Penuhi Hak Korban, Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan", di Jakarta, Jumat (29/11/2024).

Baca Juga

Veryanto Sitohang mengatakan Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan hendaknya menjadi momentum untuk mengajak semua pihak bersama-sama mencegah, menghapus, dan menangani kekerasan terhadap perempuan. Setiap tahunnya, kampanye ini berlangsung dari 25 November yang merupakan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan hingga 10 Desember yang merupakan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional.

Dalam 10 tahun terakhir, Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 2.560.571 kasus. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) tercatat mencapai 2.522.659 kasus. Selanjutnya ada kekerasan seksual yang mencapai 143.893 kasus.

Veryanto Sitohang mengatakan dengan adanya Undang-undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual harus menjadi momentum bagi korban untuk semakin berani melaporkan kasus yang dialaminya. "Publik juga semakin menyadari bahwa kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi. Catcalling kan sesuatu yang dianggap biasa. Tapi sejak ada UU TPKS, orang banyak yang sadar enggak boleh lagi, karena itu termasuk pelecehan seksual nonfisik sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4," katanya.

Aparat penegak hukum juga semakin sadar bahwa penanganan hukum kekerasan seksual tidak boleh ditiadakan. "Dulu kalau ada kasus kekerasan seksual itu diselesaikan dengan damai atau restorative justice," katanya.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement