REPUBLIKA.CO.ID, Wajah Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid terlihat kuyu, langgam bicaranya juga terkesan tak antusias saat wartawan memberondong pertanyaan usai dirinya menghadap Presiden Prabowo Subianto, pada Jumat (1/11/2024) siang. Ia dipanggil menghadap Sang Presiden menyusul geger penangkapan 11 oknum di kementeriannya terkait kasus judi online (judol).
Sekitar setengah jam Meutya menghadap Prabowo. Ia mengaku menyampaikan laporan terkini seputar penangkapan pegawainya oleh polisi.
"Presiden menyampaikan bahwa langkah-langkah sudah betul, diteruskan," kata Meutya, Jumat (1/11/2024).
Sebagai menteri yang baru dilantik pada 21 Oktober 2024, Meutya bisa dibilang 'apes' kala langsung dihantam oleh kasus penangkapan oknum Komdigi oleh polisi atas sangkaan 'mengamankan' situs-situs judol agar terbebas dari pemblokiran. Namun, kasus ini pun bisa menjadi 'wake up call' baginya sebagai momentum 'bersih-bersih' kementeriannya dari oknum yang selama ini kongkalingkong dengan bandar judol.
Oleh karena itu, Meutya pun mendukung sepenuhnya upaya kepolisian dalam mengungkap praktik judol di lingkup instansi yang ia pimpin. Jika diperlukan, kata Meutya, pihaknya tidak akan ragu untuk memfasilitasi pengembangan penyidikan, termasuk memungkinkan kepolisian masuk ke kantor mereka.
Benar saja, pada hari yang sama Meutya dipanggil Prabowo, tim dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan kantor Kementerian Komdigi. Penggeledahan itu dipimpin oleh Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol. Wira Satya Triputra, Wadirreskrimum Polda Metro Jaya AKBP Aldi Subartono.
Penggeledahan itu sebagai penggembangan dari penangkapan 11 tersangka kasus judol melibatkan oknum pegawai kementerian yang dipimpin Muetya Hafid. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Polisi Ade Ary Syam Indradi sebelumnya menjelaskan paa oknum pegawai Kementerian Komdigi tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan pengecekan web judi daring hingga memblokir. Namun, mereka menyalahgunakan wewenang dengan tidak memblokir situs judi itu dan diduga menerima imbalan hingga nilainya mencapai miliaran rupiah.
"Mereka diberi kewenangan penuh untuk memblokir. Namun mereka melakukan penyalahgunaan juga melakukan, kalau sudah kenal sama mereka, mereka tidak blokir dari data mereka," kata Ade Ary.