REPUBLIKA.CO.ID, Pada abad ke-2 Hijriah, Baghdad menjadi pusat perkembangan ilmu pengetahuan Islam yang menarik banyak ulama dari berbagai wilayah. Salah satu tokoh yang meninggalkan pengaruh besar di kota ini adalah Imam Syafi’i, yang tiba di Baghdad pada tahun 195 H.
Kala itu, ulama kenamaan yang lahir di Gaza tersebut membawa mazhab fikihnya yang telah ia rumuskan selama berada di Makkah. Kedatangan Imam Syafii disambut hangat oleh masyarakat dan ulama Baghdad, menjadikan manhajnya cepat diterima dan digemari.
Keberhasilan Imam Syafi’i menarik perhatian di Baghdad tidak lepas dari keunikannya dalam menyatukan dua pendekatan utama dalam menyimpulkan hukum Islam. Metode pertama adalah pendekatan Ahli Hadis, yang ia pelajari dari Imam Malik di Madinah. Metode ini menekankan pada pentingnya hadis sebagai sumber utama hukum Islam.
Metode kedua adalah pendekatan Ahli Ra'yi yang lebih rasional dan berbasis logika, yang ia kuasai setelah berguru kepada Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, murid Imam Abu Hanifah, di Baghdad.
Penguasaan dua metode ini membuat Imam Syafi’i mampu menawarkan solusi hukum yang seimbang, memperhatikan dalil naqli (teks) dan aqli (logika). Pendekatan ini menjadikan mazhabnya relevan di kalangan ulama Baghdad, yang sebelumnya lebih condong kepada metode Ahli Ra'yi.
Kehadiran Imam Syafi’i di Baghdad segera mengubah lanskap keilmuan di kota itu. Menurut ulama Ibrahim al-Harbi, sebelum kedatangan Imam Syafi’i, terdapat sekitar 20 majelis ilmu yang mengajarkan metode Ahli Ra'yi. Namun, hanya dalam waktu dua pekan setelah dia tiba, jumlah majelis tersebut berkurang drastis menjadi hanya tiga atau empat majelis, karena banyak ulama dan pelajar beralih ke majelis Imam Syafi’i.