REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Sidogiri, pesantren yang berdiri sejak abad ke-18 itu menunjukkan komitmennya untuk melestarikan tradisi keilmuan Islam. Tak sekadar ngaji, hal tersebut juga ditunjukkan dengan cara menerbitkan buku bermuatan keislaman dan kearifan untuk dibaca masyarakat Indonesia. Salah satu buku yang diterbitkan Sidogiri berjudul Santri Tiga Dunia HM Baharun.
Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur Hakim Jayli menjelaskan buku yang mengupas perjalanan hidup guru besar bidang agama dan filsafat itu penuh inspirasi. Berdasarkan catatannya, putra pendakwah Ust Hasan bin Muhammad Baharun (Bondowoso) itu dikenal sebagai penulis yang produktif.
Berbekal pengalaman menjadi wartawan Tempo, Berita Buana, dan Republika, Baharun merupakan penulis dengan jam terbang yang tinggi. “Beliau adalah mursyid tarekat jurnalisme al islamiyah,” kata Jayli yang juga menjabat Direktur Utama TV9 disambut tawa ratusan santri yang menghadiri acara bedah buku tersebut di Kompleks Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur, pekan lalu.
Dosen Antropologi Agama Universitas Negeri Malang (UNM) Abdul latif Bustami menjelaskan, perjalanan panjang HM Baharun merupakan dakwah berkelanjutan untuk meneguhkan ahlus sunnah wal jamaah di Indonesia. Proses itu dilakukan HM Baharun secara bertahap dengan melalui berbagai tantangan, terutama dari kelompok yang berseberangan dengan Aswaja. “Ketika itu kami menyaksikan bagaimana pengajian Aswaja diselenggarakan dengan baik. Kemudian kelompok lain juga menyelenggarakan kegiatan dengan menggunakan istilah ahlul bayt,” kata Bustami.
Selain itu, masih banyak hal menarik yang tidak tertulis dalam buku ini terkait sepak terjang HM Baharun dalam berdakwah. Namun demikian, dia mengapresiasi penerbitan buku tersebut, karena kisah di dalamnya mengandung inspirasi untuk memotivasi generasi muda sekaligus catatan sejarah tentang apa yang sudah dilakukan seorang HM Baharun untuk meneguhkan Aswaja, pesantren, ulama, kearifan Islam, dan keberlangsungan bangsa ini.
Pengasuh Pesantren Al-Maliki di Koncer Bondowoso Jawa Timur, KH M Hasan menjelaskan, HM Baharun merupakan sosok di balik amar makruf nahyi munkar di Bondowoso. Di balik kebijakan pemda yang akhirnya melarang aduan sapi di Bondowoso yang marak pada era-80an, ada dakwah bil qalam seorang HM Baharun.
Para ulama, termasuk ayah KH M Hasan, (alm) KH Abdul Muiz, satu suara menggemakan bahaya judi dalam budaya aduan sapi yang oleh sebagian orang kala itu dianggap sebagai potensi pariwisata sehingga menggenjot pendapatan asli daerah. Bukan soal berapa pendapatan yang diperoleh, tapi cara mendapatkan pemasukan daerah melalui judi aduan sapi menjadi masalah. Sebab itu menjadi jalan pembuka laknat Allah dan dicabutnya keberkahan oleh Allah. Berkat kolaborasi dakwah itu, kemungkaran berupa judi aduan sapi berhasil digagalkan.