Senin 02 Dec 2024 16:59 WIB

Rupiah Loyo, Terdampak Sikap Trump Ancam Tarif 100 Persen untuk Negara BRICS

Pelemahan rupiah juga dipengaruhi sentimen internal.

Rep: Eva Rianti/ Red: Satria K Yudha
Karyawan menghitung uang dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (17/10/2023).
Foto: Republika/Prayogi
Karyawan menghitung uang dolar AS di gerai penukaran mata uang asing VIP (Valuta Inti Prima) Money Changer, Jakarta, Selasa (17/10/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikabarkan mengancam akan mengenakan tarif 100 persen bagi negara-negara yang tergabung dalam BRICS. Hal itu menyebabkan mata uang di negara berkembang seperti rupiah mengalami pelemahan. 

BRICS merupakan akronim dari Brasil, Rusia, India, China, dan South Africa/Afrika Selatan. Indonesia sendiri saat ini diketahui tengah menjajaki upaya untuk bergabung dengan BRICS. 

Baca Juga

Mengutip Bloomberg, rupiah mengalami pelemahan 58 poin atau 0,37 persen menuju level Rp 15.905,5 per dolar AS pada penutupan perdagangan Senin (2/12/2024). Pada perdagangan sebelumnya, rupiah berada di level Rp 15.847,5 per dolar AS.  

“Trump mengancam akan mengenakan tarif 100 persen pada blok BRICS, memperingatkan mereka agar tidak mencari alternatif selain dolar. Ancamannya merusak mata uang blok tersebut dan mendorong dolar naik, karena para pedagang mengkhawatirkan kebijakan proteksionis yang lebih ketat dari AS di bawah Trump,” kata Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, Senin (2/12/2024). 

Selain itu, Ibrahim mengatakan, Trump pada pekan lalu mengancam tarif tambahan pada China, Kanada, dan Meksiko. Langkah itu dinilai dapat memicu kembali perang dagang global. 

Di samping itu, ketidakpastian atas inflasi jangka panjang yang lebih tinggi di bawah Trump, berpotensi membuat suku bunga tetap tinggi.

“Kunci prospek suku bunga adalah laporan penggajian November yang akan dirilis pada Jumat, di mana perkiraan median mendukung kenaikan sebesar 195.000 setelah laporan cuaca dan pemogokan bulan Oktober, yang juga dapat direvisi mengingat rendahnya tingkat respons untuk survei tersebut. Tingkat pengangguran diperkirakan naik menjadi 4,2 persen, dari 4,1 persen,” terangnya. 

Sentimen eksternal lainnya yang memengaruhi rupiah adalah aktivitas manufaktur di Asia meningkat lebih dari yang diharapkan pada November, menurut data indeks manajer pembelian pemerintah dan swasta. Pembacaan tersebut terjadi saat Beijing meluncurkan serangkaian langkah stimulus agresif sejak akhir September, yang bertujuan untuk menopang pertumbuhan ekonomi. 

“Meskipun langkah-langkah tersebut tampaknya membuahkan hasil, pasar mengkhawatirkan lebih banyak hambatan ekonomi dari perang dagang dengan AS. Pedagang juga menunggu lebih banyak langkah stimulus dari dua pertemuan politik utama yang akan berlangsung pada akhir Desember,” ujar Ibrahim. 

Ibrahim juga mengungkapkan faktor-faktor dalam negeri yang memengaruhi pelemahan rupiah saat ini. Salah satu faktornya adalah angka purchasing manager’s index (PMI) Manufaktur Indonesia berada di angka 49,2 pada Oktober 2024. Indeks tersebut menunjukkan bahwa masih di bawah tanda krusial tidak ada perubahan 50 selama empat bulan berturut-turut. 

“Kondisi PMI yang masih stagnan ini tidak terlepas dari daya beli masyarakat yang melemah. Jika dilihat tidak hanya Indonesia yang mengalami kontraksi manufaktur tetapi negara-negara Asean juga mengalami hal yang sama,” ujar dia. 

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement