REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa tahun yang lalu, pemerintah Amerika Serikat memutuskan untuk melarang penjualan, pembelian dan konsumsi minuman keras. Pemerintah Mesir juga melarang penjualan kokain dan menghukum mereka yang membawanya untuk mengkonsumsinya sendiri atau menjualnya kepada orang lain.
Di Mesir, obat-obatan medis tidak boleh dijual dan dipersiapkan kecuali kepada apoteker, tetapi larangan ini didasarkan pada poros sipil, dan dasarnya dalam semua kasus yang telah kami sebutkan adalah bahwa benda-benda tersebut beracun, dan tidak boleh dijual atau dijual kecuali dengan izin khusus.
Jika suatu saat terbukti bahwa kemaslahatan ini tidak bertentangan dengan konsumsi benda-benda yang diharamkan tersebut, maka larangan tersebut gugur, dan maksud dari perkataan kami adalah bahwa pemerintah-pemerintah tersebut tidak melarang konsumsi benda-benda tersebut sebagaimana agama Musyrik yang melarang orang Yahudi memakan daging babi, atau sebagaimana agama Hindu yang melarang memakan daging sapi.
Kedua larangan tersebut adalah karena adanya otoritas Ilahi yang memerintahkan dan menetapkan masalah tersebut tanpa alasan, dan orang-orang yang beriman wajib mentaatinya, sehingga jika melanggarnya, maka ia akan terjerumus ke dalam kesesatan dan heterodoksi.
Dalam kasus pertama, hukum dapat diubah atau dihapuskan karena merupakan hukum perdata yang didasarkan pada kehendak bangsa, yang lebih mirip dengan kontrak sosial tentang masalah tertentu, tetapi dalam kasus daging babi atau daging sapi, hukum tidak dapat disentuh oleh revisi atau perubahan apa pun.
Salamah Musa, dalam Hurriyat al-Fikri wa Abthaluha fi at-Tarikh, menjelaskan sejarah Islam pernah menyaksikan upaya-upaya ulama untuk mengharamkan kopi di Makkah, Madinah, dan Kairo menggunakan dalil-dalil agama, setingkat dengan keharaman babi. Fakta ini sebagaimana dinukilkan Muhammad al-Anshari, tokoh abad ke-10 Hijriyah.
Dia menjelaskan kopi adalah minuman yang terbuat dari kulit biji kopi atau biji kopi yang disangrai, yakni digoreng, maka mereka yang membolehkannya menganggapnya sebagai minuman yang suci dan diberkahi bagi yang meminumnya, dapat membangkitkan semangat, membantu kaum sufi untuk dzikir kepada Allah SWT, membantu dalam beribadah, dan mereka yang mengharamkannya berlebihan dalam mencela dan mencaci maki para peminumnya.
Orang-orang yang menyatakan haramnya telah melampaui batas dengan mengatakan bahwa ia seperti khamr, menyamakannya dengan khamr dan menyamakannya dengan khamr, dan sebagian dari mereka mengaitkannya dengan bahaya bagi akal dan badan, serta klaim-klaim dan fanatisme lainnya yang menyebabkan pertengkaran dan pertikaian, dan terjadinya perselisihan dan fitnah di Makkah dan Kairo, larangan menjualnya, dan merusak peralatan yang disucikan.
Pelarangan menjualnya, memecahkan peralatannya yang suci, bahkan menghukum para penjualnya dengan pukulan dan lainnya tanpa dalil yang jelas, dan mendisiplinkan mereka dengan cara menghilangkan harta mereka, membakar cangkang-cangkang yang dibuat darinya secara bergilir, dan mencelanya dengan cara melebih-lebihkan bahwa orang yang meminumnya akan didatangkan di hari kiamat dengan wajahnya yang hitam dari dasar bejana, dan banyak terjadi perselisihan dan persengketaan di antara kedua kelompok dan fitnah terhadap para pengidapnya.
Mengenai permulaannya, Syekh Syihabuddin bin Abdul Ghaffar menjelaskan, di Mesir pada awal abad ini, abad kesepuluh Hijriyah, sebuah berita tentang minuman yang disebut kopi, kemunculan dan penyebarannya di Yaman berada di tangan Abu Abdullah yang dikenal dengan sebutan al-Dhubhani, seorang Mufti di Aden.