Dari angkatan terbaru, 2024, hingga angkatan 1960-an, mereka berkumpul di Swiss-Belresort Bandung Heritage, pada Sabtu (30/11/2024). Sebelum acara dimulai, Roy Rondonuwu --dari angkatan 1975 Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB)-- mengajak semua peserta bermain sejenak.
Ia menayangkan teks di layar, lalu mengajak para peserta berdiri dan mengikuti setiap kalimat yang ia nyanyikan dengan iringan musik. Semua mengikuti apa yang diinginkan Roy, dosen Fikom Unpad yang lihai membangun dinamika dalam sebuah acara.
Halo...semua/ Semangat pagi/ Kita berkumpul/ Tukar pikiran/ Untuk PMB/ Jaya selalu/ Ok... Ok... hu... ye.../
Dengan irama hiphop, pagi itu muncul keceriaan. Semua merasa sudah hadir secara jiwa dan raga di acara itu.
Ayo ekspresikan/ Pikiran pendapatmu/ Gagasan yang gemilang/ Untuk PMB kita, jaya selalu/ Mari kita sukseskan/ PMB Masa Depan/ Ragam angkatan kumpul/ Semua bersatu padu/ Ok.. .Ok... hu ye.../
Angkatan 1970 dari Perhimpunan Mahasiswa Bandung (PMB) menjadi penyelenggara acara diskusi ini. Acara ini sebagai bagian dari kegiatan 55 tahun angkatan mereka yang akan diperingati pada 2025.
Diskusi diadakan dengan dasar bahwa zaman terus berubah dan karakter generasi juga berbeda. Bahwa generasi Z yang sekarang menjadi mahasiswa kurang berminat berorganisasi.
Ayo ayo ayo/ Siap siap siap/ Tengok kiri kanan/ Mari kita katakan:/ Siap diskusi/
Roy Rondonuwu mengajak bermain bukan untuk mengisi kekosongan acara, tapi memang menjadi bagian dari acara. Hal itu untuk menunjukkan bahwa dalam peradaban manusia, bermain bukanlah kegiatan mengisi waktu senggang, melainkan juga menjadi bagian utama dari peradaban.
Johan Huizinga yang menulis buku Homo Ludens (Manusia Bermain) menyebut bahwa bermain sudah ada sebelum ada peradaban. Binatang tidak mengenal peradaban, tetapi mereka mengenal bermain.
PMB ada sejak 1948, didirikan oleh Slamet Bratanata dan kawan-kawan. Untuk masuk menjadi anggota PMB, mahasiswa harus melalui proses perploncoan.
Perploncoan juga merupakan kegiatan bemain. Di dalamnya bisa mengenal karakter masing-masing. Darinya belajar disiplin, berpikir kreatif, mengelola waktu, dan sebagainya.
Bagaimana tidak. Pukul 06.00 harus sudah hadir di acara apel dengan membawa tugas yang lengkap. Tugas diberikan tengah malam sebelum pulang, dan tugas yang aneh-aneh itu harus sudah siap dibawa untuk apel pagi.
Untuk bisa memenuhi tugas yang aneh-aneh itu diperlukan pikiran yang kreatif. Belum lagi jika ditanya asah otak (brain teaser). Harus lebih kreatif lagi.
Contoh: Bagaimana cara mengetahui undur-undur jantan dan betina? Jika tidak berpikir kreatif tak akan bisa menjawabnya.
Kini, perploncoan masihkah relevan? Dari nilai-nilai yang bisa didapat, harusnya masih relevan, tapi apakah masih banyak mahasiswa yang bersedia mengikuti perploncoan?
Pada 2024, PMB hanya mendapat 22 anggota muda. Tahun sebelumnya, penerimaan pertama setelah pandemi Covid-19, hanya menghasilkan 28 anggota muda. Sangat sedikit tentunya.
Tapi ini tidak hanya terjadi di PMB, di organisasi mahasiswa lain juga sama. Survei yang dilakukan PMB pada Oktober-November 2024 memperlihatkan hal itu. Tak banyak mahasiswa yang menjadi manusia bermain di organisasi.
Biaya kuliah yang mahal membuat banyak mahasiswa memilih segera menyelesaikan kuliah. Bahkan semasa masih kuliah pun orientasinya adalah jangka pendek: Mendapatkan keuntungan saat itu juga.
Maka, jika mereka harus berkegiatan, mereka memilih kegiatan yang mendapatkan hasil jangka pendek itu. Orientasinya sebagai mahasiswa adalah mendapatkan sesuatu, bukan berbuat sesuatu.
Maka, ketika bergabung dengan organisasi, yang dilihat juga itu: Apa yang bisa didapat? Bukan: apa yang bisa diperbuat di organisasi itu?
Anehnya, hasil survei itu memperlihatkan adanya kesukaan mahasiswa terhadap perploncoan. Meski mengakui ada ketidaknyamanan selama diplonco, tetapi dari 48 responden, sebanyak 52,1 persen setuju bahwa perploncoan melatih mental dan disiplin.
Yang sangat setuju ada 14,6 persen. Yang tidak setuju hanya 14,6 persen. Ada 16,7 persen yang memilih tidak berpendapat. Yang sangat tidak setuju cuma dua persen.
Ketidaknyamanan yang dialami itu seperti apa? Antara lain: tidak nyaman ketika diminta menyanyi di depan banyak orang. Tentu saja, mahasiswa yang mengalami hal ini perlu menempa diri agar selama menjadi mahasiswa bisa tampil di depan publik dengan luwes.
Diberi tekanan mental juga membuat ada mahasiswa yang merasa tidak nyaman. Padahal, tekanan mental di dunia kerja bisa jauh lebih besar dari tekanan mental di perploncoan.
Pemberian tekanan mental selama perploncoan semacam memberi alat ukur untuk mengukur karet psikologis seseorang. Sepanjang mana kekuatan karet psikologis itu bisa ditarik?
Pelaksanaan perploncoan bersifat sukarela. Tak boleh ada paksaan, sehingga ketika di tengah jalan tidak cocok bermain di perploncoan itu, ia bisa meninggalkannya.
Yang menjadi persoalan lain dalam berorganisasi adalah pembinaan. Yang diinginkan adalah ada lingkungan inklusif untuk pengembangan diri selama menjalani masa pembinaan.
Lingkungan inklusif membuat seseorang menjadi menghargi keberagaman. Angkatan 2009 menjadi contoh menarik di PMB. Berbagai dukungan dilakukan dari masa penerimaan anggota baru.
Lalu, selama setahun masa pembinaan, dari pengurus, Panitia Pembimbing Anggota, hingga berbagai komponen alumni bahu-membahu memberikan dukungan sehingga bisa bermain dengan menyenangkan. Semua potensi muncul, tidak saling meniadakan.
Tak ada pertanyaan, apakah kegiatan ini atau kegiatan itu bermanfaat bagi anggota muda? Kegiatan yang satu tidak menegasikan kegiatan yang lain. Justru saling melengkapi.
Dari bermain selama setahun itu, mahasiswa yang menjadi anggota muda bisa belajar banyak. Dengan menjadi manusia bermain, masing-masing mengembangkan diri.
Tak heran jika dari mereka memiliki masa aktif lebih lama. Mereka gembira berorganisasi. Dari 75 anggota muda angkatan 2009, ada tiga orang yang kemudian menjadi ketua pengurus.
Jika kemudian ada yang mengaku tidak mendapatkan apa-apa selama menjadi anggota muda dan anggota biasa, keberadaannya justru perlu dipertanyakan. Hanya raganya yang ikut bermain, tetapi jiwanya di tempat lain.
Ia tidak cocok bermain di dalamnya. Ia tidak mampu memunculkan energizer di dalam dirinya agar bisa bersemangat bermain, agar bergembira dalam berorganisasi.
“Permainan itulah pendidikan,” kata Ki Hadjar Dewantoro.
Manusia bermain (homo ludens) bergerak secara otonom. Dia tetap berdaya sebagai individu, dijamin kebebasan pribadinya, meski aturan permainan itu bukan dia yang membuatnya.
“Bermain tidak dapat ditolak. Jika Anda suka, Anda dapat menolak hampir semua abstraksi: keadilan, keindahan, kebenaran, kebaikan, pikiran, Tuhan. Anda dapat menolak keseriusan, tetapi tidak bisa menolak bermain,” kata Johan Huizinga.
Priyantono Oemar