REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pemerintah menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen memicu kekhawatiran dampaknya terhadap berbagai sektor, termasuk penerbangan. Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Sarmin menyoroti potensi market disruption yang dapat terjadi jika kebijakan ini tidak diimbangi dengan penyesuaian pada komponen biaya di sektor tersebut.
Menurut Wijayanto, memaksa maskapai penerbangan seperti Garuda Indonesia untuk menurunkan harga tiket di tengah naiknya beban pajak justru bisa mengacaukan keseimbangan pasar.
“Harga tiket dipaksa turun, sementara biaya operasional seperti harga BBM, biaya ground handling, dan lainnya tidak ikut disesuaikan. Ini akan menciptakan tekanan besar pada maskapai, terutama yang kondisi keuangannya sudah sulit,” ungkapnya dalam diskusi publik PPN 12 Persen, Solusi atau Beban Baru? yang diselenggarakan INDEF & Universitas Paramadina secara daring, Senin (2/12/2024).
Ia menjelaskan, kebijakan seperti ini berpotensi menciptakan market inefficiency. Penurunan harga yang dipaksakan tanpa mempertimbangkan komponen biaya dapat membuat perusahaan tidak mampu bertahan.
"Dalam ekonomi, ini disebut dead weight loss. Ada hilangnya efisiensi yang pada akhirnya merugikan perekonomian secara keseluruhan," tegas Wijayanto.
Lebih jauh, Wijayanto menilai kebijakan semacam ini dapat melemahkan daya saing sektor penerbangan di Indonesia. Maskapai, khususnya yang berbasis negara seperti Garuda Indonesia, akan semakin terbebani dan berpotensi mengalami kerugian lebih besar.
“Kebiasaan memberikan instruksi harga tanpa melihat kondisi rantai pasok sebaiknya dihindari. Idealnya, penurunan harga dibagi merata di seluruh rantai pasok, termasuk biaya bahan bakar dan operasional lainnya, agar pasar tetap efisien,” jelasnya.
Kenaikan PPN ini, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang komprehensif, dikhawatirkan akan menciptakan gangguan di pasar penerbangan yang justru merugikan konsumen dalam jangka panjang. Oleh karena itu, Wijayanto mengingatkan pentingnya pendekatan yang lebih terukur dalam merancang kebijakan ekonomi di tengah tantangan global saat ini.