REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Agama Prof KH Nasaruddin Umar menceritakan kisah pengalamannya saat melihat Alquran di sebuah penerbit milik non Muslim. Kisah ini diceritakan menag saat meresmikan Operasional Gedung Pusat Literasi Keagamaan Islam (PLKI) Unit Percetakan Al-Quran di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (4/12/2024).
Dalam sambutannya, Nasaruddin menjelaskan, Kemenag perlu memiliki percetakan Alquran sendiri karena ia pernah menyaksikan langsung bagaimana perlakuan penerbit yang dimiliki non Muslim terhadap Alquran."Sangat miris, saya tak tahu betul tepatnya dan nama penerbitnya," ujar dia.
Sebagai tokoh yang memiliki latar belakang Alquran, Rektor Universitas PTIQ Jakarta ini mengetahui betul cara memperhormati Alquran. Dia pun mengutip ayat, di mana Allah berfirman:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Artinya : “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS Al Waqiah: 79).
Artinya, kata dia, tidak boleh menyentuh mushaf Alquran itu sebulum berwudhu. Bahkan dalam tradisi masyarakat Bugis itu, kalau ada robekan Alquran harus dicium tiga kali, lalu disimpan di tempat yang paling tinggi. "Nanti kita kualat kalau kita melihat robekan Alquran, potongan-potongan Alquran tergeletak di lantai," ucap dia.
"Bahkan di lantai biasa sekalipun karpet itu pun juga harus mempunyai alas. Begitu sucinya Alquran dimata umat Islam pada waktu itu. Karena ini kan kitab suci," kata dia.