REPUBLIKA.CO.ID, Bicara politik, secara sempit adalah proses/upaya perebutan kekuasaan/otoritas. Dalam perspektif lebih besar, politik merupakan proses menyejahterakan masyarakat dan memajukan bangsa. Sebagai muslim, tentu aspek nawaetu harus menjadi landasan dalam melangkah. Dengan meniatkan kebaikan saja, maka diyakini akan menjadi pahala.
Dalam beberapa hadits disebutkan, Nabi Muhammad SAW bersabda, ‘Innamal a'malu bin niyyat’, yang berarti segala amal perbuatan tergantung pada niatnya. Niat yang tulus dan ikhlas menjadi syarat utama diterimanya suatu ibadah.
Filsuf Aristoteles, dalam karyanya 'Politika' di abad ke-4 sebelum masehi, mendefinisikan politik sebagai seni dan ilmu mengatur masyarakat untuk mencapai kebaikan bersama. Manusia adalah 'zoon politikon' atau makhluk politik yang secara alami cenderung hidup dalam komunitas dan berpartisipasi dalam urusan publik. Tujuan politik adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh warga negara.
Ada dua kata kunci dalam definisi politik menurut Aristoteles. Yang pertama adalah seni dan ilmu mengatur masyarakat. Seni dan ilmu merupakan aspek yang masuk dalam ruang dimensi strategi, atau kebanyakan orang memahaminya dengan diksi ikhtiar.
Proses ikhtiar adalah upaya untuk memperjuangkan keinginan melalui wasilah yang tersedia. Di kancah politik, wasilah yang konstitusional adalah pemilihan umum. Para kelompok harus melalui itu agar jika berhasil bisa merealiasikan tujuannya.
Lalu kata kunci kedua, yaitu kesejahteraan bagi seluruh warga negara. Boleh dibilang, kata kunci kedua ini merupakan goals dari definisi politik besar. Jika bicara goals dari definisi politik, tampaknya sangat identik dengan sesuatu yang disebut harapan mulia. Rasanya tidak akan ada yang membantah bila ‘Menyejahterakan Warga Negara’ dikategorikan sebagai harapan mulia.
Setiap niat tentu memiliki korelasi regresi dengan tujuannya. Begitupun di dunia politik, niat politisi tentunya akan terhubung dengan variabel tujuan. Mustahil variabel niat tidak disertai dengan variabel tujuan. Ibarat melajunya kita dalam berkendaraan tanpa memiliki tujuan henti. Mustahil.
Jika kita ulas kembali kedua kata kunci, yakni proses ikhtiar (strategi) dan tujuan (niat). Rasanya para kontestan politik harus bersepakat di variabel tujuan. Kalaupun ada perselisihan dan dinamika hebat, biasanya terjadi pada proses ikhtiar.
Dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada), ikhtiar dan strategi pemenangan dalam mendulang suara masyarakat pemilih, yakni dilakukan hingga hari pencoblosan. Jika surat suara masyarakat pemilih sudah masuk kotak suara, maka tampaknya tidak perlu lagi ada kampanye yang menggiring masyarakat untuk memilih calon.
Kalaupun setelah hari pencoblosan itu masih ada ikhtiar dari kelompok politik, yakni bukan untuk mendulang suara. Namun, untuk mengawasi atau memastikan bahwa proses penghitungan suara itu tidak dinodai oleh praktik-praktik curang.
Masih hangat ingatan kita pada pesta demokrasi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Setidaknya ada dua hal yang masih kita ingat pada momen Pilpres tahun ini. Pertama, muncul protes dari salah stau kelompok karena merasa dicurangi. Protes atas kecurangan itu tidak sempurna bisa dibuktikan, apalagi sampai mengubah hasil pemilu.
Kedua, hasil penghitungan cepat (quick count) dari kebanyakan lembaga survei sesuai dengan hasil penghitungan resmi yang dilakukan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dengan pengalaman tersebut, maka tidak heran jika hasil quick count dalam pesta Pilkada kali inipun diakui sebagai kebenarannya oleh kebanyakan pihak.
Bisa jadi, calon kepala daerah (Cakada) yang tidak terpilihpun dalam hatinya mengakui akan kekalahannya. Namun, ada istilah dalam peribahasa Sunda, ‘Mindingan Beungeut ku Saweuy’. Maksud dari peribahasa ini, yaitu istilah bagi kita yang sudah mengetahui kebenarannya, namun seolah-seolah tidak mengetahui atau mengakui kebenaran itu.
Seseorang yang bersikap ‘Mindingan Beungeut ku Saweuy’, tentu terkategori sebagai sosok yang tidak baik. Karena ada ketidakjujuran pada sikap yang ditunjukkannya. Sekadar jujurpun rasanya sudah bagus bagi Cakada yang kalah, apalagi sampai berani mengucapkan selamat kepada calon terpilih. Bagi kontestan yang berhati jembar (lapang dada), sepertinya tidak sulit untuk menyampaikan ucapan selamat kepada kontestan yang menang.
Benar, bahwa resminya Cakada terpilih di Pilkada 2024 akan dilantik pada 7 Februari 2025 untuk gubernur dan 10 Februari 2025 untuk bupati dan wali kota. Haruskah ucapan selamat juga dilakukan di tanggal pelantikan?
Walau masih dua bulan lagi pelantikkannya, tidak ada larangan secara etika dan etiket bagi calon yang tidak terpilih untuk mengucapkan selamat kepada Cakada yang terpilih. Sikap jembar itu menjadi penting tertanam di bangsa ini, termasuk para kontestan politik.
Tidak berlebihan rasanya jika sikap jembar merupakan cerminan manusia beriman, beragama, dan berbudaya. Ingat, kita bukanlah bangsa yang gemar memupuk permusuhan atau dendam.
Rekonsiliasi adalah solusi efektif bagi perselisihan yang tidak berkesudahan pascahari pencoblosan Pilkada 2024. Mengapa demikian? Mau tidak mau atau suka tidak suka, negara melalui konstitusinya akan melantik calon gubernur, bupati dan wali kota terpilih menjadi kepala daerah definitif.
Dengan rekonsiliasi, maka pintu kolaborasi akan semakin terbuka. Dalam parade debat calon kepala daerah yang diselenggarakan KPU, semua Cakada berikrar membuka diri untuk berkolaborasi dengan semua pihak yang ingin berpartisipasi dalam membangun daerahnya.
Seperti kita ketahui, semua Cakada merupakan pihak yang secara terbuka memiliki visi dan misi dalam membangun daerahnya. Maka, merekalah yang sebaiknya memberi tauladan untuk saling berkolaborasi, baik secara langsung atau tidak langsung.
Cakada Terpilih yang akan menjadi kepala daerah difinitif juga harus konsisten dengan ucapannya yang akan menerima tawaran kolaborasi dari pihak manapun, termasuk dari Cakada yang tidak terpilih. Publik akan mengamati konsistensi pihak Cakada yang telah berjanji akan membuka diri untuk berkolaborasi.