REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Pemerintah Amerika Serikat kembali melakukan pembelaan terhadap anak emasnya, Israel. AS menolak laporan ekstensif Amnesty International mengenai niat Israel untuk menghancurkan rakyat Palestina melalui genosida dan menyebutnya sebagai “opini”.
“Kami telah mengatakan sebelumnya dan terus menemukan bahwa tuduhan genosida tidak berdasar,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri Vedant Patel kepada wartawan dilansir Aljazirah.
“Tetapi masih ada peran penting yang dimainkan oleh organisasi masyarakat sipil seperti Amnesty International dan kelompok hak asasi manusia serta LSM dalam menyediakan informasi dan analisis yang berkaitan dengan Gaza.”
Amnesty International pada Kamis mengeluarkan laporan mendalam yang menyimpulkan bahwa Israel melakukan genosida terhadap warga Palestina di Gaza setahun belakangan. Laporan baru itu berdasarkan temuan selama berbulan-bulan menganalisis insiden dan pernyataan pejabat Israel.
“Ada genosida yang sedang dilakukan. Tidak ada keraguan, tidak ada keraguan dalam pikiran kami setelah enam bulan melakukan penelitian yang mendalam dan terfokus,” kata Sekretaris Jenderal Amnesty, Agnes Callamard.
Amnesty mengatakan mereka menyimpulkan bahwa Israel dan militernya melakukan setidaknya tiga dari lima tindakan yang dilarang oleh Konvensi Genosida 1948, termasuk pembunuhan, menyebabkan kerugian fisik atau mental yang serius, dan dengan sengaja menimbulkan kondisi yang diperkirakan akan menyebabkan kehancuran fisik suatu kelompok.
Callamard menambahkan bahwa awalnya mereka tidak bermaksud untuk membuktikan genosida dalam penyusunan laporan itu. Namun, setelah meninjau bukti-bukti, satu-satunya kesimpulan adalah bahwa “Israel berniat dan bermaksud melakukan genosida”.
Dalam hal ini, Amnesty International telah bergabung dengan sejumlah organisasi dan pakar yang menuduh Israel melakukan genosida di Gaza. Konvensi Genosida PBB mendefinisikan kejahatan sebagai “tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu kelompok nasional, etnis, ras atau agama”, termasuk pembunuhan dan tindakan untuk mencegah kelahiran.
Tindakan genosida juga mencakup “menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang diperkirakan akan menyebabkan kehancuran fisik secara keseluruhan atau sebagian”.
Para pejabat Israel secara terbuka membahas perampasan makanan dan kebutuhan dasar lainnya bagi warga Gaza sambil melakukan pengepungan yang mencekik terhadap wilayah tersebut. Selain itu, Israel telah beberapa kali membuat ratusan ribu orang di Gaza terpaksa mengungsi, memaksa mereka tinggal di tenda-tenda dalam kondisi yang mengerikan dan pemboman terus-menerus.
Yang terkini, menurut Radio Tentara Israel, setidaknya 18.000 warga Palestina dipaksa mengungsi dari Beit Lahiya di Gaza utara. Laporan itu mengatakan pasukan Israel menahan sekitar 100 orang untuk diinterogasi.
Tentara Israel telah mengeluarkan beberapa perintah pemindahan paksa di seluruh wilayah kantong tersebut. Beberapa hari yang lalu, Radio Angkatan Darat melaporkan bahwa pertempuran di Beit Lahiya sudah berkurang intensitasnya.
Pada Kamis malam, kantor berita WAFA melansir bahwa tentara penjajahan Israel melakukan lima pembantaian terhadap keluarga di Jalur Gaza selama 24 jam terakhir, yang mengakibatkan terbunuhnya 48 warga sipil dan melukai 201 lainnya, menurut sumber medis.
Jumlah korban jiwa sejak dimulainya agresi Israel di Jalur Gaza pada 7 Oktober 2023 meningkat menjadi 44.580 orang, yang sebagian besar adalah anak-anak dan perempuan. Sekitar 105.739 lainnya terluka.
Ribuan korban masih terjebak di bawah reruntuhan atau berserakan di jalan, sementara tim ambulans dan pertahanan sipil menghadapi kesulitan untuk menjangkau mereka karena serangan Israel yang terus berlanjut, banyaknya puing dan kekurangan bahan bakar dan alat berat.
Data jumlah korban di Gaza tidak lengkap karena agresi Israel yang intensif, gangguan komunikasi dan layanan internet yang berulang-ulang, kekurangan bahan bakar dan infrastruktur yang hancur, sehingga sulit untuk mendokumentasikan jumlah korban jiwa.