REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Sebagai gerakan Islam terbesar, Muhammadiyah menebar kebaikan untuk semua (rahmatan lil 'alamin) di manapun berada. Dalam bidang pendidikan, Persyarikatan turut mencerdaskan kehidupan bangsa, tanpa memandang identitas suku, sosial maupun agama.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), misalnya, Muhammadiyah memiliki berbagai amal usaha yang menyediakan jenjang pendidikan tinggi. Salah satunya adalah Universitas Muhammadiyah (UM) Kupang, yang juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan Sidang Tanwir 2024.
Berdiri sejak tahun 1987, UM Kupang kini memiliki 17 program studi (prodi) dan enam fakultas. Sekitar 82 persen dari total 8.800 mahasiswa setempat adalah non-Muslim. Jumlah dosen yang beragama selain Islam juga cukup signifikan.
Oryenes Boimau SPd MHum (45 tahun) menuturkan kesannya selama mengajar bertahun-tahun di kampus ini. Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UM Kupang ini mengaku terkesan dengan kiprah Muhammadiyah dalam dunia pendidikan.
Sebagai seorang pemeluk Kristen, dirinya pun tak pernah merasakan adanya diskriminasi terhadap dosen-dosen yang non-Muslim. Dalam pandangannya, Persyarikatan hadir untuk semua. Di UM Kupang, ia juga mengajar matakuliah Pendidikan Agama Kristen Protestan.
"Kehadiran Muhammadiyah di NTT telah banyak mencerdaskan anak bangsa. Universitas-universitas Muhammadiyah, termasuk ini (UM Kupang), menjadi kampus multikultural yang merangkul semua warga bangsa," ujar Boimau kepada Republika, Jumat (6/12/2024).
Karena itu, dalam rangka milad ke-112 Muhammadiyah ia berharap Persyarikatan dapat terus maju dan berkembang. Dirinya juga menyambut gembira rencana pembangunan Rumah Sakit (RS) Akademik UM Kupang yang groundbreaking-nya telah dilakukan baru-baru ini.
"Kita memandang Muhammadiyah sebagai rumah kita bersama untuk mencerdaskan anak bangsa dan menerapkan Pancasila sebagai filosofi bangsa," tutup Boimau.
Puluhan tahun mengabdi