Ahad 08 Dec 2024 01:03 WIB

Berbeda dengan Gus, Ini Asal Muasal Gelar Kiai

Gus dan kiai sama-sama gelar dari masyarakat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Erdy Nasrul
Ilustrasi menyaksikan ceramah kiai dan habaib.
Foto: Republika/Muhyiddin
Ilustrasi menyaksikan ceramah kiai dan habaib.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gelar "Gus" sedang ramai diperbincangkan di Indonesia setelah viralnya video ceramah Gus Miftah yang mengolok-olok pedagang es dalam pengajian di Magelang. Namun, gelar Gus ini berbeda dengan gelar Kiai yang disematkan kepada tokoh agama di Indonesia.

Gelar Kiai di Indonesia memiliki akar sejarah dan budaya yang panjang, terutama dalam konteks Islam di Nusantara. Lalu dari mana asal muasal kata "Kiai" di Indonesia?

Baca Juga

Di Jawa, kata "Kiai" ini sering digunakan untuk merujuk kepada ulama atau tokoh agama Islam yang memiliki pengetahuan mendalam tentang ajaran Islam dan memiliki pesantren.

Setelah zaman Walisongo, Kiai menjadi tokoh penting dalam penyebaran Islam di Jawa. Gelar ini digunakan untuk ulama yang tidak hanya berperan sebagai pendidik agama, tetapi juga sebagai pemimpin masyarakat. Mereka sering dimintai nasihat, baik dalam urusan agama maupun sosial.

Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis menjelaskan, gelar kiai berasal dari bahasa Jawa "Iki ae" yang artinya ini aja.

"Gelar Gus berbeda dengan Kiai. Kalau Kiai kan Iki Ae. Jadi ketika dalam acara-acara keagamaan, siapa yang mimpin? Ini aja," ujar Kiai Cholil saat berbincang dengan Republika.co.id di Ponpes Cendikia Amanah Depok, Jumat (6/12/2024).

Apa yang disampaikan Kiai Cholil itu senada dengan yang dikutip Ronald Alan Lukens-Bull (2004) bahwa secara etimologis, kiai berasal dari kata “iki wae,” yang bisa diartikan “orang yang dipilih.” Ini menunjukkan bahwa kiai adalah spesial karena mereka pilihan Allah SWT.

"Jadi Iki ae menjadi Kiai gitu. Nah akhirnya orang-orang yang punya ketokohan di tengah-tengah masyarakat dipanggil Kiai," ucap Rais Syuriah PBNU ini.

Meskipun berasal dari budaya Jawa, istilah Kiai kemudian menyebar ke berbagai daerah di Indonesia. Namun, di beberapa wilayah lain, ulama dengan peran serupa memiliki sebutan berbeda, seperti "Tuan Guru" di Lombok dan "Buta" Sumatera Barat, atau "Ajengan" di Sunda.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْ حَاۤجَّ اِبْرٰهٖمَ فِيْ رَبِّهٖٓ اَنْ اٰتٰىهُ اللّٰهُ الْمُلْكَ ۘ اِذْ قَالَ اِبْرٰهٖمُ رَبِّيَ الَّذِيْ يُحْيٖ وَيُمِيْتُۙ قَالَ اَنَا۠ اُحْيٖ وَاُمِيْتُ ۗ قَالَ اِبْرٰهٖمُ فَاِنَّ اللّٰهَ يَأْتِيْ بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِيْ كَفَرَ ۗوَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الظّٰلِمِيْنَۚ
Tidakkah kamu memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim mengenai Tuhannya, karena Allah telah memberinya kerajaan (kekuasaan). Ketika Ibrahim berkata, “Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan,” dia berkata, “Aku pun dapat menghidupkan dan mematikan.” Ibrahim berkata, “Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah ia dari barat.” Maka bingunglah orang yang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zalim.

(QS. Al-Baqarah ayat 258)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement