REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Said Hawwa lahir di Hammah (Suriah) pada 27 September 1935 dari pasangan Muhammad Diib Hawwa dan Arabiyyah Althaisy. Dia sudah aktif di Ikhwanul Muslimin (IM) sejak masih remaja. Tokoh ini berpulang ke rahmatullah pada 9 Maret 1987, setelah mengidap komplikasi penyakit di Amman, Yordania. Usianya kala itu, 54 tahun.
Pemikiran Said Hawwa cukup dipengaruhi sang Hujjatul Islam Imam Ghazali. Pengaruh itu terutama dalam konteks kajian tasawuf yang digelutinya.
Menurut Said, seorang sufi sejati tidak akan bertentangan dengan akidah ahlus sunnah wa al-jama’ah (Aswaja), sebagaimana gagasan itu telah dicetuskan al-Ghazali. Bukunya, Tarbiyatuna ar-Ruhiyah, mengkaji pelbagai aspek tentang tasawuf.
Di dalamnya, Said menegaskan paham Aswaja sebagai landasan jalan salik yang ideal. Dia juga menyanjung pelbagai legasi dari Imam Ghazali. Diimbaukannya agar kaum Muslimin membaca Ihya Ulum ad-Din karena itu memuat perkara-perkara yang baik tentang akhlak islami.
Dalam lingkup IM, dia menekankan keserasian antara bersufi dan berorganisasi. Bukunya, Fi Afaq At-Ta'alim, ditulis untuk mengomentari pemikiran dan gagasan-gagasan sang pendiri IM, Hasan al-Banna.
Pertama-tama, Said berpendapat bahwa seorang pemeluk Islam mesti ikut serta dalam jamaah dan menaati arahan imam. Dengan memperkuat jamaah, kehormatan agama ini dapat terjaga. Kaum Muslimin pun diharapkan tangguh menghadapi pelbagai gangguan.
Selanjutnya, Said Hawwa berpendapat bahwa Ikhwanul Muslimin (IM) mewadahi keinginan untuk mewujudkan jamaah. Lebih dari itu, organisasi ini juga mengedepankan reformasi dan kemajuan umat Islam di tengah arus zaman modern.
Dakwah yang dilakukan gerakan ini, menurut Said Hawwa, menghidupkan Islam sesuai yang telah diwariskan Rasulullah SAW. Di antaranya adalah menuntut penghidupan ilmu, amal, serta keteguhan hati dan jiwa.