REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Fikrul Hanif Sufyan dalam Sang Penjaga Tauhid (2014) menjelaskan, wacana Asas Tunggal bermula dari bentrok fisik antara massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Golkar di Lapangan Banteng, Jakarta. Pemerintah Orde Baru yang waktu itu didukung Golkar melihat partai yang berhaluan kanan (agama) itu sebagai sesuatu yang patut diwaspadai. Maka, dirancanglah tafsiran bahwa Pancasila—artinya, bukan agama—harus dijadikan asas satu-satunya dalam berorganisasi.
Rezim kala itu berdalih, Asas Tunggal diterapkan demi melindungi Pancasila dari rongrongan ekstrem kiri-kanan. Melalui penerapan Asas Tunggal, pemerintah yakin, konflik ideologi dapat dihilangkan sehingga pembangunan nasional tak terganggu.
Sejak munculnya wacana Asas Tunggal, PP Muhammadiyah merespons dengan hati-hati. Malahan, persyarikatan cenderung “terbelah” dalam menyikapinya.
Buya Abdul Malik Ahmad menjadi suara paling nyaring dari kubu anti-Asas Tunggal. Tokoh Muhammadiyah kelahiran Nagari Sumanik, Kelarasan Tanah Datar, Sumatra Barat, ini gigih mempertahankan agar Persyarikatan tetap berasas agama Islam.
Fikrul Hanif mengatakan, berbagai strategi dilakukan Buya Abdul Malik Ahmad untuk menyuarakan argumentasinya. Mulai dari kuliah tauhid, rapat pimpinan Muhammadiyah, kaderisasi, hingga selebaran-selebaran yang bertajuk “Menuju Shiratan Mustaqiima”, yang diedarkan beberapa bulan menjelang Muktamar ke-41 di Solo, Jawa Tengah.