REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam kebudayaan Jawa adiluhung, kesusastraan memainkan peranan penting untuk menegaskan posisi elite keraton. Untuk semakin menyelaraskan tradisi Jawa dengan Islam, Sultan Agung memperkenalkan karya-karya yang mengandung ajaran agama ini ke dalam khazanah istana. Salah satunya, Kitab Usulbiyah.
Karya ini serta Carita Sultan Iskandar dan Serat Yusup dikomposisikan ulang oleh generasinya kemudian, yakni Ratu Pakubuwana pada 1729-1730.
Isi Kitab Usulbiyah mengisahkan kehidupan Nabi Muhammad SAW. Di sana, Rasulullah SAW bahkan dideskripsikan memakai mahkota emas Majapahit sebagai tanda sinkretisme Islam dan keraton Jawa. Lebih lanjut, Ratu Pakubuwana sampai-sampai menyamakan ritual membaca Usulbiyah dengan beribadah haji ribuan kali.
Kuatnya sinkretisme Islam dan Jawa juga dijumpai dalam Suluk Garwa Kancana, yang ditulis pada 1730 oleh Ratu Pakubuwana. MC Ricklefs menjelaskan, karya ini terinspirasi dari ajaran sufistik Islam yang menasihati para penguasa agar tidak larut dalam puji-puji para bawahannya di lingkungan istana.
"Biarkan perjuangan tanpa henti menjadi benteng-bentengmu, ingatan yang agung (terhadap Allah) menjadi senjatamu, iman yang teguh terhadap Allah menjadi wahanamu," demikian penggalan salah satu bait suluk tersebut.
Budayawan dan sejarawan Universitas Gadjah Mada, Prof Kuntowijoyo (wafat 2005), dalam bukunya Muslim Tanpa Masjid menjelaskan filosofi Sultan Agung terkait hubungan antara agama dan budaya Jawa.
Dalam Serat Sastragendhing, Sultan Agung mengibaratkan agama sebagai gubahan lirik sastra, sedangkan kebudayaan sebagai gending atau lagunya. Artinya, agama bersifat tetap. Yang langit itu stabil, tetapi pembumiannya dinamis. Caranya agama itu disampaikan kepada sekalian manusia dapat berubah-ubah sesuai konteks ruang dan waktu.