Jumat 13 Dec 2024 22:23 WIB

Artikel Ini Semakin Perjelas Peran Turki di Pusaran Konflik Suriah Puluhan Tahun

Turki mempunyai peran besar dalam konflik berkepanjangan di Suriah

Pejuang oposisi merayakan runtuhnya pemerintahan Suriah di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad. 
Foto: AP Photo/Omar Sanadiki
Pejuang oposisi merayakan runtuhnya pemerintahan Suriah di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad. 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Recep Tayyip Erdogan dari Turki pasti senang dengan apa yang sedang terjadi di Suriah, meskipun perasaannya pasti akan berubah dengan cepatnya perubahan situasi.

Proksi Syiah Iran telah dilemahkan oleh penargetan dan pengeboman Israel yang tak henti-hentinya.

Baca Juga

Mata dan sumber daya Rusia beralih ke perang di Ukraina. Dengan adanya laporan bahwa kelompok-kelompok pemberontak Suriah kini bertempur di pinggiran ibukota Damaskus, rezim Assad terlihat lemah, pemimpinnya bersembunyi atau mengungsi.

Dalam campuran jihadis, nasionalis, dan tentara bayaran, tangan Turki terlihat besar. Intervensinya dalam konflik Suriah dimotivasi oleh dua tujuan utama yaitu penahanan, jika tidak menghilangkan militan Kurdi di Suriah utara, yang dianggap tidak bisa dibedakan dari rekan-rekan PKK (Partai Pekerja Kurdistan) mereka di Turki sendiri, dan menciptakan kondisi stabilitas atau "zona aman" yang memungkinkan kembalinya para pengungsi Suriah jika memungkinkan.

Sejak Agustus 2016, Turki telah melakukan tiga kali serangan untuk merebut beberapa wilayah di bagian utara Suriah, memaksakan pendudukan dengan menggunakan pasukan reguler dan pasukan tambahan termasuk Tentara Nasional Suriah (SNA) dan sebuah koalisi yang terdiri dari para mantan pejuang Tentara Pembebasan Suriah (FSA).

Pada 2018, Polisi Militer dibentuk oleh pemerintah Turki dan Pemerintah Sementara Suriah (SIG), sebuah pasukan yang seolah-olah dimaksudkan untuk melindungi penduduk sipil. Namun, periode pemerintahan Turki ini justru ditandai dengan kebrutalan, penindasan, dan pengabaian.

Dalam laporannya pada Februari 2024, Human Rights Watch mendokumentasikan berbagai kasus penculikan, penangkapan sewenang-wenang, penahanan yang melanggar hukum (termasuk anak-anak), kekerasan seksual, dan penyiksaan.

Para pelaku meliputi elemen-elemen SNA, Polisi Militer, anggota Angkatan Bersenjata Turki, Organisasi Intelijen Nasional Turki (Milli İstihbarat Teşkilatı, MİT), dan berbagai direktorat intelijen militer.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

Kekejaman yang sangat mengerikan ini bisa ditambahkan dengan penyalahgunaan hak milik, penjarahan, perampasan, penyitaan harta benda, pemerasan, dan ketiadaan sistem ganti rugi yang konsisten.

Kelompok yang menanggung beban penderitaan terberat adalah penduduk Kurdi, terutama mereka yang telah menerima perlindungan dari Pasukan Demokratik Suriah (SDF) pimpinan Kurdi yang didukung oleh Amerika Serikat, yang terdiri dari Unit Perlindungan Rakyat (Yekineyen Parastina Gel, YPG), dan Unit Perlindungan Perempuan (Yekineyen Parastina Jin). Pasukan-pasukan ini terbukti sangat penting dalam melawan kelompok Negara Islam (ISIS).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement