Senin 16 Dec 2024 15:18 WIB

Kiprah Rahmah El Yunusiyah, Wanita Pejuang Pendidikan Islam

Rahmah El Yunisiyah mendirikan Diniyah School di Sumatra Barat.

Rahmah El-Yunusiyah
Foto: http://akhsyahirul.files.wordpress.com
Rahmah El-Yunusiyah

REPUBLIKA.CO.ID, BATUSANGKAR -- Negeri Minangkabau (Sumatra Barat saat ini) dikenal sebagai daerah yang pertama kali merintis sistem pendidikan madrasah di nusantara. Tidak hanya madrasah untuk kalangan umum, madrasah yang didirikan khusus untuk kalangan perempuan pun mula-mula lahir di negeri ini.

Hajah Rangkayo Rahmah el-Yunusiyah menjadi pencetus pendirian madrasah pertama khusus untuk perempuan itu. Tokoh pembaharu pendidikan Islam yang juga pejuang kemerdekaan Indonesia ini dikenal sebagai pendiri perguruan Diniyah Putri Padangpanjang di Sumatra Barat.

Baca Juga

Semasa hidupnya, Rahmah memelopori pembentukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)—cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI) hari ini—di kota kelahirannya. Tak hanya itu, ia juga menjamin seluruh perbekalan dan membantu pengadaan alat senjata para pejuang kemerdekan di daerah nya selama masa revolusi nasional Indonesia.

Rahmah el-Yunusiyah lahir pada 29 Desember 1900 (1 Rajab 1319 H) di Nagari Bu kit Surungan, Padangpanjang. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Muhammad Yunus al-Khalidiyah dan Rafia, memiliki dua kakak perempuan dan dua kakak lakilaki.

Yunus adalah seorang ulama yang pernah menuntut ilmu di Makkah selama empat tahun. Ia bekerja sebagai kadi di Pan dai Sikek, sebuah daerah yang berada sekira lima kilometer dari Padangpanjang. Sementara, keluarga Rafia memiliki hubung an darah dengan Haji Miskin, ulama pemimpin Perang Padri pada awal abad ke-19.

Sejak usia 10 tahun, Rahmah sudah gemar mendengarkan kajian yang diadakan di beberapa surau. Ia mengambil perbandingan dari kajian-kajian yang diikutinya, berpindah-pindah dari satu ke lain surau yang ada di Padangpanjang untuk mengobati dahaganya akan ilmu pengetahuan agama.

Rahmah remaja pada awalnya adalah gadis pendiam dan pemalu. Mengikuti tradisi adat pada masa itu, di usia 16 tahun, Rahmah dinikahkan oleh keluarganya dengan Bahauddin Lathif, seorang ulama dari Sumpur. Pernikahan mereka berlangsung pada 15 Mei 1916 dan berakhir pada 22 Juni 1922 tanpa meninggalkan anak.

Seiring arus pembaruan Islam yang dibawa oleh para ulama penuntut ilmu di Timur Tengah pada awal abad ke-20, sejumlah sekolah agama berdiri di berbagai daerah Minangkabau menggantikan sistem pendidikan tradisional yang berbasis surau. Pada 10 Oktober 1915, kakak laki-laki Rahmah, yakni Zainuddin Labay el-Yunusiy membuka sekolah Islam bernama Diniyah School.

Sekolah ini menggabungkan pelajaran agama Islam dan pelajaran umum dalam kurikulum yang dijalankan dengan cara pendidikan modern, menggunakan alat peraga, serta memiliki perpustakaan. Model sekolah tersebut betul-betul menjadi hal yang baru bagi sekolah agama pada zaman itu.

Dalam menyelenggarakan kegiatan pen didikannya, Diniyah School menerima murid perempuan di kelas yang sama dengan murid laki-laki. Rahmah pun ikut mendaftar di sekolah yang didirikan oleh abangnya tersebut. Kecerdasan yang dimiliki Rahmah membuatnya langsung diterima duduk di bangku kelas tiga (setara tsanawiyah) oleh pihak sekolah.

Selain menghadiri kelas pada pagi hari di Diniyah School, Rahmah juga memimpin kelompok belajar di luar kelas pada sore hari. Ia melihat, percampuran peserta didik laki-laki dan perempuan di dalam kelas yang sama menyebabkan siswa perempuan kesulitan mengutarakan pendapat dan menggunakan haknya dalam belajar.

Bersama dua temannya, Siti Nansiah dan Djawana Basyir, Rahmah akhirnya memutuskan untum mempelajari fikih lebih dalam kepada Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul (ayah kandung Buya Hamka—Red) di Surau Jembatan Besi, Padangpanjang. Menurut Hamka, Rahmah dan dua orang temannya itu tercatat sebagai murid-murid perempuan pertama yang ikut belajar agama di Surau Jembatan Besi.

Pada 1 November 1923, Rahmah membuka Madrasah Diniyah li al-Banat sebagai bagian dari Diniyah School yang dikhusus kan untuk siswa-siswa putri. Keputusan itu terbilang tidak lazim bagi seorang perempuan pada awal abad ke-20 di Minangkabau. Namun, sekolah yang ia rintis tersebut ternyata berhasil tumbuh dan berkembang sehingga dikenal sebagai sekolah Islam khusus putri pertama di Indonesia.

Sejarawan Deliar Noer mencatat, Diniyah Putri memiliki sedikitnya 200 murid pada 1928. Jumlah itu bertambah menjadi 300 pada 1933 dan 400 pada 1935. Sekolah ini memiliki 500 murid pada 1941. Pada zaman pendudukan Jepang, Rahmah memimpin Hahanokai di Padangpanjang untuk membantu perwira Giyugun.

Pada masa perang kemerdekaan, ia memelopori berdirinya TKR di Padangpanjang dan mengerahkan muridnya untuk ikut serta melawan penjajah walaupun hanya dalam bentuk menyediakan makanan dan obat-obatan bagi para pejuang. Ia ditangkap oleh Belanda pada 7 Januari 1949 dan ditahan.

Pada Pemilu 1955, Rahmah terpilih sebagai anggota DPR RI mewakili Masyumi, tetapi tidak pernah lagi menghadiri sidang parlemen setelah ikut ber gerilya mendukung Pemerintah Revolusio ner Republik Indonesia (PRRI).

Pada pertengahan dekade 1950-an, Imam Besar al-Azhar Mesir, Abdurrahman Taj, berkunjung ke Diniyah Putri. Keberadaan sekolah Islam putri ini kelak menginspirasi Universitas al-Azhar membuka Kulliyatul lil Banat (fakultas yang dikhususkan untuk perempuan) di Negeri Piramida. Ketika berkunjung ke Mesir pada 1957, Rahmah mendapat gelar kehormatan "Syaikhah" dari Universitas al-Azhar— yang belum pernah diberikan kepada perempuan mana pun sebelumnya. Di Indone sia, pemerintah menganugerahkannya tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adi pradana secara anumerta pada 13 Agus tus 2013. ¦ ed: a syalaby ichsan

sumber : Dok Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement