REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi memandang penting terwujudnya pemerintahan inklusif di Suriah demi memastikan perdamaian yang berkelanjutan di negara tersebut usai jatuhnya rezim Bashar Al-Assad.
“Karena kalau kemudian tidak tercapai kesepakatan untuk membentuk pemerintahan bersama yang inklusif, proses transisi dikhawatirkan akan semakin panjang dan gejolaknya akan semakin besar,” ucap Yon saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Kamis.
Ia mengatakan, meski disatukan dengan tujuan menaklukkan rezim Assad, kelompok oposisi bersenjata utama Suriah memiliki latar belakang serta kepentingan yang berbeda-beda.
Di antara kelompok tersebut adalah Hayat Tahrir Al-Sham (HTS) yang merupakan kelompok Islamis pecahan Al-Qaida yang kemudian menolak berdirinya ISIS, Tentara Nasional Suriah (SNA) yang disokong Turki, dan Angkatan Demokrasi Suriah (SDF) yang memiliki kepentingan bagi kelompok masyarakat Kurdi dan didukung AS, ucap dia.
Apabila kesepakatan bersama untuk membentuk pemerintahan yang inklusif dan menguntungkan semua pihak gagal bertahan, Yon menyebut bahwa situasi keamanan di Suriah dapat menjadi tak terkendali, sehingga bernasib sama dengan Libya dan Sudan yang kembali jatuh ke perang saudara karena gagalnya pemerintahan transisi.
Lihat postingan ini di Instagram