SumatraLink.id (REPUBLIKA NETWORK) – Saya mengenalnya sejak bergabung dengan koran Republika sebagai reporter di daerah khususnya di Sumatra. Nian Poloan Lubis, namanya. Wartawan senior ini sudah berkarir sejak saya masih duduk di bangku SD tahun 1970-1980-an.
Zaman itu, jelas tidak banyak yang meniti karir menekuni dunia wartawan. Boleh dikata, hanya orang-orang “tertentu”. Berbeda dengan Nian Poloan, yang terakhir bergabung di Republika hingga pensiun dengan kode berita “nin”.
“Yg membedakannya dgn media lokal, media nasional mmg lbh jelas dalam hal jenjang karir - selain soal salery dan peraturan ketenagakerjaan,” kata Nian Poloan, yang sekarang bermukim di Tangerang, Senin (16/12/2024).
Berikut kisah jejak wartawan Nian Poloan Lubis yang diberinya judul:
“KORESPONDEN”.
Kami sama-sama mengawali karir di Majalah TEMPO sebagai koresponden daerah - sebuah status yang amat payah diperoleh pada waktu itu.
Maklum, TEMPO sangat selektif dalam mengangkat koresponden. Berbagai proses ketat dilakukan, sebelum kami ditetapkan sebagai koresponden.
Yakni, dimulai dengan Pembantu Lepas, Pembantu Tetap, lalu kemudian Koresponden. Ini jenjang karir untuk orang daerah. Jika prestasi bagus, bisa berlanjut menjadi Kepala Biro yang membawahi beberapa wilayah kerja.
Itulah jenjang karir untuk orang daerah. Tapi bisa berlanjut ke Kantor Pusat di Jakarta, jika prestasinya memang mendukung. Seperti yang ditunjukkan Amran Nasution, yang mengawali karirnya sebagai Pembantu Lepas di Kisaran, Sumatera Utara.
Bisa mencapai Koresponden pun sesungguhnya sudah teramat sulit - untuk tidak mengatakan berdarah-darah. Betapa tidak. Posisi itu baru bisa didapat, jika 'rapor'-nya memang mendukung.
Tak hanya sekedar produktifitas, berbagai hal juga dinilai. Yang paling utama adalah moralitas: wartawan TEMPO sangat mengharamkan hal-hal yang berbau 'amplop' - sesuatu yang jamak terjadi di kalangan jurnalis pada saat itu.
Tapi TEMPO berhasil menerapkannya, sehingga bisa dikatakan kami 'steril' dari perbuatan yang mengotori moral wartawan itu. Meski tak mudah melawannya, kami berhasil lolos dari nilai itu.
Adalah saya bersama Aris Amirris di antara yang lolos itu. Saya waktu itu masih tinggal di Tebing Tinggi, sedangkan Aris Amirris di Cirebon. Kebetulah kami bersama pula yang mendapatkan kesempatan menjalani orientasi di Jakarta pada 1978.
Setelah selesai menjalani penggemblengan di Jalarta itulah kami kemudian diangkat jadi Pembantu Tetap. Dari sini kemudian perlahan meningkat jadi Koresponden.
Tapi, karir di TEMPO tak kami jalani sampai ke puncaknya. Aris kemudian berkiprah di majalah berita lain, sedangkan saya di sejumlah harian nasional.
Karir kami pun berakhir hampir bersamaan karena memasuki usia pensiun. Dan, kami sama-sama memilih tidak tinggal kota asal. Aris memilih tinggal di Tangsel, saya di Tangerang.
Setelah lama janjian mau bertemu, baru Ahad pagi tadi bisa bertemu di Bumi Serpong Damai, sambil ngopi. Tentu tidak seperti kami jumpa pertama kali hampir 50 tahun lalu.
Alhamdulillah, kami berdua masih diberikan kesehatan oleh Allah SWT. "Kawan seangkatan kita sudah banyak yang dipanggil," lirihnya. "Ya, kita menunggu giliran," jawabku.
Kami pun bernostalgia dengan dunia yang kami jalani dulu. Ya, masa lalu demikian sudah jauh berlalu. Masa yang terkadang membuat kami termangu. (Mursalin Yasland)