REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia atau Sustain menawarkan opsi
peningkatan pungutan produksi batu bara untuk memperbesar alokasi anggaran negara dalam
pembiayaan transisi energi.
Melalui mekanisme peningkatan pungutan produksi batu bara, negara berpeluang menerima
pendapatan minimum sebesar Rp84,5 triliun per tahun. Sedangkan dengan skenario optimal,
potensinya bisa mencapai Rp353,7 triliun yang berasal dari industri batu bara.
Direktur Eksekutif Sustain Tata Mustasya mengatakan, potensi tersebut didapatkan dari
menghitung peningkatan pungutan terhadap produksi batu bara dengan beberapa skenario
harga batu bara dalam kurun waktu 2022-2024.
Menurutnya, opsi peningkatan pungutan batu bara dapat mengatasi salah satu masalah dari
transisi energi seperti skema Just Energy Transition Partnership (JETP) yakni ketersediaan
anggaran. Hal ini sekaligus sebagai disinsentif untuk industri batu bara yang merupakan energi
fosil.
“(Ini juga) pemenuhan aspek keadilan, karena perusahaan batu bara memperoleh supernormal
profit (mendapatkan untung yang sangat tinggi),” ujar Tata dalam diskusi bertajuk Peningkatan
Pungutan Produksi Batu Bara: Peluang Transisi Energi dalam Keterbatasan Fiskal di Jakarta,
Selasa (17/12/2024).
Tata mengatakan, bila penambahan pendapatan dari 2025-2030 ini dikonversi dan
dibandingkan dengan kebutuhan JETP, skenario terbaik dapat menutup 147 persen dari
kebutuhan pendanaan. Sementara dalam skenario paling minimum, akan menutup kebutuhan
pendanaan untuk pengembangan jaringan transmisi dan distribusi listrik dan akselerasi untuk
energi terbarukan variable (35 persen).
Menurut Tata, peningkatan pungutan produksi batu bara bisa diterapkan secara progresif
dengan mengikuti fluktuasi harga pasar batu bara. Selain itu, dapat dipungut melalui
mekanisme lain seperti pajak, royalti, dan lainnya.
“Kebijakan ini juga dapat menjadi sinyal bagi kepemimpinan Indonesia di dunia internasional di
antara negara-negara selatan dan utara untuk mendorong transisi energi,” ujarnya.
Sekretaris Eksekutif dan Anggota Dewan Ekonomi Nasional Septian Hario Seto mengatakan,
pungutan batu bara sudah sempat dilakukan di Indonesia melalui windfall profit tax dan royalti.
Menurutnya, pendapatan negara dari royalti batu bara dua tahun terakhir tergolong besar.
“Total tahun 2022 sekitar Rp170 triliun, melebihi migas (minyak dan gas bumi). Pada tahun
2023 sebesar Rp168 triliun,” katanya menerangkan.
Namun, dia mengungkapkan, beberapa tambang batu bara memiliki masa tambang kurang dari
10 tahun, terutama untuk pertambangan dengan Izin Usaha Penambangan Khusus (IUPK).
Sehingga pendapatan royalti negara bisa jadi tidak akan bertahan lama.
“Kita kemungkinan akan kehilangan produksi batu bara sebesar 200 juta ton. Karena di tahun
2035 (sumber daya batu bara) akan habis, tidak ekonomis lagi untuk menambang dengan
struktur royalti yang ada untuk IUPK,” kata Septian.
Direktur Eksekutif Climate Policy Initiative Tiza Mafira menyoroti pembelanjaan negara yang
masih cukup besar untuk mensubsidi energi fosil. Berdasarkan perhitungan rata-rata
penerimaan dan belanja fiskal Indonesia tahun 2016-2022, total penerimaan negara dari energi
fosil sebesar Rp210 triliun atau 11 persen dari total penerimaan, sedangkan subsidi energi fosil
mencapai Rp165 triliun atau 9 persen dari total belanja.
Khusus batu bara, belanja negara digunakan dalam bentuk domestic market obligation (DMO)
untuk mensubsidi harga. DMO membuat harga beli batu bara dalam negeri menjadi US$70/ton,
sementara harga pasar terus berfluktuasi, saat ini menyentuh US$175/ton. Kondisi tidak
beriringan dengan upaya transisi energi karena harga batu bara tergolong murah.
Oleh karena itu, Tiza menyarankan ada earmarking atau penandaan anggaran hasil pungutan
batu bara agar tidak bercampur dengan anggaran belanja energi fosil. Dia juga mengajukan
adanya special purpose vehicle atau lembaga keuangan khusus yang fokus menyalurkan hasil
pungutan ke pendanaan energi terbarukan dan jaringan listrik baru atau smart grid.