REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Kesaksian dari pejabat PBB menguatkan dugaan bahwa Israel menggunakan bom terlarang yang menguapkan tubuh korban di Jalur Gaza. Hal ini sebelumnya telah disampaikan berbagai pihak di Gaza.
Georgios Petropoulos, yang mengepalai OCHA di Gaza, menggambarkan pengalamannya menyaksikan dampak serangan Israel yang “menguapkan” tubuh para korban. Dalam pernyataannya yang dilansir surat kabar Israel Haaretz, Petropoulos mengatakan lokasi serangan di al-Mawasi tampak seperti Nagasaki, kota di Jepang tempat pasukan AS menjatuhkan bom atom pada 1945.
“Mereka menghitung mayatnya, tapi ada orang yang langsung menguap,” kata Petropoulos. “Sepuluh atau dua puluh orang yang diketahui berada di dalam tenda telah menghilang begitu saja. “Saya berada di rumah sakit setelah pemboman, tampak seperti rumah jagal, darah dimana-mana.”
Haaretz tidak merinci serangan pasti yang dimaksud Petropoulos. Namun artikel tersebut mencatat setidaknya ada delapan serangan di al-Mawasi, daerah berpasir yang ditetapkan Israel sebagai “zona aman”, yang menewaskan banyak orang pada November, dan serangan lainnya pada tanggal 4 Desember yang menghancurkan 21 tenda dan menewaskan sedikitnya 23 orang.
Koresponden Aljazirah dan staf medis di Gaza sebelumnya juga melaporkan bahwa bom Israel menyebabkan tubuh korban menguap.
Dalam satu serangan Israel di al-Mawasi pada bulan September, setidaknya 22 orang dilaporkan hilang, yang diduga terbakar karena intensitas ledakan. Badan verifikasi Al Jazeera, Sanad, menyimpulkan bahwa bom MK-84 seberat 907 kilogram buatan AS mungkin digunakan dalam serangan itu.
Kelompok perlawanan Hamas di Gaza pada awal Desember menyerukan pembentukan komite internasional untuk menyelidiki penggunaan senjata yang dilarang secara internasional oleh pasukan pendudukan Israel itu. Kecurigaan ini berdasarkan “kesaksian mengerikan yang diberikan oleh warga dan dokter di Jalur Gaza utara setelah penyerangan dan pembantaian yang dilakukan Israel terhadap warga sipil”.
“Ada konfirmasi kasus penargetan dengan senjata dan amunisi yang menyebabkan penguapan jenazah, menunjukkan dengan kuat bahwa tentara pendudukan teroris menggunakan senjata yang dilarang secara internasional selama kampanye pemusnahan brutal yang telah berlangsung selama 53 hari di Jalur Gaza utara,” demikian pernyataan Hamas yang dilansir Aljazirah, kemarin.
Direktur Jenderal Kementerian Kesehatan di Gaza, Munir al-Barash, mengatakan Jumat pekan lalu, bahwa tentara penjajah menggunakan senjata “yang sifatnya tidak diketahui di Jalur Gaza utara, yang menyebabkan penguapan jenazah”. Pertahanan Sipil di Jalur Gaza juga mengkonfirmasi bahwa Israel telah menggunakan senjata semacam itu lebih dari satu kali selama beberapa bulan terakhir, menyebabkan ribuan jenazah para syuhada meleleh dan menguap.
Oktober lalu, Direktur Jenderal Departemen Pasokan dan Peralatan Pertahanan Sipil di Jalur Gaza, Dr Mohammed Al-Mughairy, mengatakan dalam wawancara sebelumnya dengan Aljazirah Arabia bahwa penjajah Israel menggunakan senjata terlarang di wilayah padat penduduk. Ia menilai penggunaan senjata tersebut menjelaskan kematian dalam jumlah besar, serta mencairnya dan menguapnya ribuan jenazah akibat panas tinggi yang dikeluarkan saat ledakan terjadi. Bom itu mengubah jenazah korban menjadi partikel kecil yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, terbang dan larut di udara dan tanah.
Agustus lalu, Otoritas Pertahanan Sipil di Jalur Gaza melaporkan bahwa 1.760 jenazah syuhada telah menguap akibat senjata yang dilarang secara internasional. Pihak berwenang juga melaporkan bahwa mereka tidak dapat mencatat data pemilik jenazah dalam catatan pemerintah terkait.
Pada April lalu, para dokter Palestina dari Jalur Gaza mengatakan bahwa fenomena pembusukan dan penguapan mayat adalah “sangat umum,” dan bahwa jenis cedera yang datang ke rumah sakit adalah sesuatu yang belum pernah mereka tangani sebelumnya. Demikian juga dampak aneh yang ditimbulkannya pada yang terluka.
Mereka mengindikasikan bahwa alasan di balik cedera ini adalah karena suhu luar biasa yang dipancarkan oleh rudal nonkonvensional yang digunakan pendudukan Israel sejak awal agresi mereka di Jalur Gaza.