REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu hari, seorang musafir datang ke Madinah. Pengelana itu lantas menyambangi Masjid Nabawi. Sesudah ikut menunaikan shalat berjamaah, ia pun meminta izin bertemu Nabi Muhammad SAW.
“Wahai Rasulullah, aku betul-betul tertimpa kepayahan. Tubuhku lemas sekarang karena aku begitu kelaparan,” kata dia.
Nabi SAW pun memintanya untuk menunggu dalam masjid. Selanjutnya, beliau mendatangi rumah seorang istrinya untuk menanyakan, apakah ada makanan yang dapat disajikan untuk tamunya itu.
“Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, kita tak memiliki suatu sajian apa pun kecuali air saja,” jawab istrinya itu.
Rasul SAW lantas pergi ke rumah istrinya yang lain. Pertanyaan beliau ditanggapi dengan jawaban yang sama, “Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, kita tak memiliki apa pun kecuali hanya air minum.”
Beliau pun mengetuk tiap rumah istri-istrinya, tetapi jawaban yang diperolehnya selalu sama. Setelah itu, Nabi SAW kembali ke masjid dan menjumpai di sana sang musafir masih merintih akibat menahan lapar. Sementara itu, matahari sudah kembali ke peraduannya.
Beliau pun mengumumkan kepada khalayak sekalian, “Siapakah yang hendak menjamu musafir ini pada malam ini? Semoga Allah merahmati orang yang menerimanya sebagai tamu.”
Di antara jamaah masjid tersebut, Abu Thalhah al-Anshari mendengar seruan Nabi SAW itu. Ia pun bangkit berdiri untuk menyatakan kesediaannya. “Wahai Utusan Allah, aku dapat menjamunya di rumahku. Biarlah ia menjadi tamuku malam ini,” kata sahabat dari golongan Anshar itu.
View this post on Instagram
Rasulullah SAW tersenyum senang. Beliau mengarahkan sang musafir untuk mengikuti Abu Thalhah. Sahabat Nabi SAW itu menuntun tamunya itu dengan cermat. Ia pun beranjak pergi bersama sang tamu dengan hewan tunggangannya. Sesampainya di rumah, Abu Thalhah menjumpai istrinya, Ummu Sulaim.
“Apakah kita memiliki makanan di rumah?” katanya sembari berbisik.