REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) mengusulkan delapan langkah strategis guna mendukung langkah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memperkuat peranan komoditas sawit di dalam negeri.
Ketua Umum DMSI Sahat Sinaga, saat memberikan orasi ilmiah bertemakan "Inovasi Riset dan Terapan Sains Matematika untuk Mendukung Industri Sawit bernilai Tambah dan Berkelanjutan" dalam Dies Natalis ke-64 FMIPA Universitas Indonesia (UI) di Depok, Jawa Barat, Kamis (19/12/2024) menyatakan produksi sawit nasional pada 2024 turun 4 persen dibandingkan 2023 yang mencapai 50,07 juta ton.
"Kondisi produktivitas sawit Indonesia mengkhawatirkan, sebab, tidak adanya perhatian kepada penyakit yang menyerang sawit. Padahal, dampak penyakit tersebut, bisa berakibat penurunan produksi hingga 40 persen," katanya.
Rendahnya produktivitas sawit, lanjut Sahat, akan berimbas terhadap rencana Presiden Prabowo untuk menjadikan Indonesia sebagai raja green fuel. Menurut dia, dari sawit dengan luasan yang ada saat ini, sangat berpotensi besar untuk pengembangan green fuel, asalkan dikelola dengan baik (properly manage). Oleh karena itu, di hadapan sivitas akademi FMIPA UI, Sahat mengusulkan delapan langkah strategis yang dapat ditempuh pemerintahan yakni pertama pembentukan Badan Otorita Sawit yang berada langsung di bawah Presiden supaya permasalahan sawit ini dapat diselesaikan.
Kedua, dilakukan inovasi teknologi pengolahan, antara lain, dari pengolahan TBS menjadi minyak sawit melalui teknologi bernama DPMO (degummed palm mesocarp oil) dengan karakteristik "high micro-nutrition dan emisi karbon rendah".
Ketiga, terobosan menghasilkan RBD Olein yang mempertahankan kandungan gizi di dalamnya. Dengan cara mengganti pola pengolahannya dari teknologi usang "physical refining" ke model alamiah yaitu proses "reesterifikasi".
Keempat, perlu dibentuknya "Dokter Kesehatan Kebun Sawit Rakyat" supaya kebun sawit rakyat itu dilindungi dari gangguan penyakit/hama dan produktivitas bisa ditingkatkan dari 9,2 ton TBS/ha/tahun menjadi 26 ton TBS/ha/tahun rata-rata petani.
Kelima, semua transaksi CPO dan CPKO dilakukan melalui bursa komoditas sawit baik ekspor dan domestik untuk menciptakan transaksi data perdagangan yang akuntabel dan transparan. Keenam, Kementerian Perdagangan diberikan kewenangan untuk melakukan penetapan harga sawit di pasar global dengan merujuk kepada bursa komoditas sawit tadi.
Ketujuh, program mandatori biodiesel yang saat ini B-35 dan akan menuju ke B-40 sebaiknya memakai tambahan HVO (hydrogenated vegetable oil berbasis sawit yang beremisi karbon rendah bukan dari CPO), dan tergantung perkembangan harga crude jenis Brent.
Jika Brent di bawah 63 dolar AS/barel, tambahnya, artinya sebaiknya menggunakan minyak fosil, tak perlu gunakan minyak sawit bernilai tinggi. Kedelapan, pemerintahan sebaiknya melakukan kebijakan tegas dengan menghilangkan insentif green energy, sebaliknya dikenakan pajak tinggi kepada minyak fosil. Maka, Pertamina sebaiknya memperbaiki teknologi refinerinya agar bisa hasilkan solar dengan kandungan sulfur rendah.