REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Media Israel melaporkan bahwa militer Israel sedang menghadapi krisis prajurit parah. Sebaliknya, Hamas yang berupaya dilumpuhkan di Jalur Gaza justru berhasil merekrut ribuan pejuang baru.
Surat kabar Israel Hayom melansir pada Kamis, ratusan perwira mengundurkan diri dari militer pada puncak perang. Sejak kuartal kedua tahun ini, khususnya dalam enam bulan terakhir, sekitar 500 mayor telah secara sukarela meninggalkan militer.
Surat kabar tersebut menganggap bahwa ini adalah statistik yang "seharusnya mengguncang Israel," terutama pada saat tantangan keamanan semakin meningkat dan militer berencana untuk membangun kerangka tempur tambahan.
Israel Hayom menambahkan bahwa kepemimpinan militer Israel terkejut dengan besarnya fenomena ini, dan mengakui bahwa mereka memperkirakan gelombang pengunduran diri akan meningkat setelah perang, bukan selama perang. Laporan tersebut menyoroti bahwa militer yang memulai perang sudah bergulat dengan kekurangan prajurit yang parah.
Pada 2022, tercatat 613 mayor meninggalkan militer dalam satu tahun, bersama dengan perwira berpangkat lebih rendah, terutama kapten. Meskipun tingkat desersi melambat pada tahun 2023, terutama menjelang akhir tahun karena pecahnya perang, tren tersebut muncul kembali, kata Israel Hayom.
Sementara, tentara Israel telah mengumumkan bahwa mereka membentuk divisi baru yang terdiri dari lima brigade untuk meringankan beban tentara cadangan. Mamun media Israel mengungkapkan bahwa mereka gagal merekrut jumlah tentara yang dibutuhkan, Middle East Monitor (MEMO) melaporkan.
“Dalam perang ini, kami mengetahui bahwa IDF harus lebih besar, lebih luas, dalam menghadapi situasi sulit dan perang yang panjang,” kata Kepala Staf Herzi Halevi dalam pidato yang disiarkan televisi. “Selama beberapa bulan ini, kami membentuk brigade cadangan baru yang sebagian besar terdiri dari individu-individu yang sudah melebihi usia pengecualian dan telah menunjukkan kesediaan, menyadari urgensi saat ini, untuk mengambil tindakan dan mengatakan kami akan kembali bertugas,” Halevi menambahkan.
Menurut Times of Israel, tentara mengatakan misi divisi tersebut “sebagian besar akan terkait dengan pertahanan di perbatasan dengan Yordania dan di sepanjang penghalang keamanan Tepi Barat,” serta beroperasi di Tepi Barat yang diduduki “jika diperlukan.”
Mereka “akan siap untuk merespons kejadian mendadak di wilayah masing-masing, karena mereka dijadwalkan untuk menyimpan senjata dan perlengkapannya di rumah, tidak seperti tentara cadangan lainnya yang mengembalikan perlengkapan mereka ke tentara ketika meninggalkan tugas cadangan.”
Rencananya, 15.000 tentara, sebagian besar sukarelawan, “yang akan bertugas di divisi ini akan berusia antara 38 dan 58 tahun,” tulis The Times of Israel. Jumlah ini di atas usia pembebasan bea cadangan saat ini, yaitu 40 tahun untuk sebagian besar orang.
Namun, menurut Ynet News, proses rekrutmen berjalan lambat, tentara baru berhasil merekrut 3.000 tentara, dari 15.000 tentara yang dibutuhkan, selama sembilan bulan. “Kami kepayahan untuk memenuhi target perekrutan,” aku tentara Israel, menurut laporan berita tersebut.