Kamis 19 Dec 2024 21:57 WIB

Koalisi Masyarakat Sebut Pembentukan DPN tak Sejalan dengan UU Pertahanan

Pembentukan DPN bukan untuk kepentingan politik kekuasaan.

Diskusi Koalisi Masyarakat Sipil yang membahas tentang pembentukan Dewan Pertahanan Nasional.
Foto: istimewa/doc humas
Diskusi Koalisi Masyarakat Sipil yang membahas tentang pembentukan Dewan Pertahanan Nasional.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, menilai, pembentukan Dewan Pertahanan Nasional (DPN) tidak sejalan dengan UU Pertahanan. Ini berbahaya bagi Kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia.

Aktivis PBHI, Gina Sabrina, dalam siaran pers mengatakan, pada 16 Desember 2024, Presiden membentuk DPN sekaligus melantik Menhan Sjafrie Sjamsuddin menjadi Ketua Harian DPN. Menurutnya, Koalisi Masyarakat Sipil menilai UU No. 3 Tahun 2002  memang  mengatur tentang pembentukan dewan pertahanan nasional. 

Dalam undang undnag itu, fungsi dewan pertahanan nasional  hanya sebagai lembaga penasihat Presiden dalam membantu merumuskan kebijakan pertahanan. Pasal 15 UU Pertahanan disebutkan “Dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan negara, Presiden dibantu oleh Dewan Pertahanan Nasional”. 

Adapun Dewan Pertahanan Nasional menurut Pasal 15 UU Pertahanan, lanjut Gina, berfungsi hanya sebatas penasihat Presiden dalam menetapkan kebijakan umum pertahanan dan pengerahan komponen pertahanan serta bertugas untuk menelaah, menilai dan menyusun kebijakan terpadu di bidang  pertahanan.

Namun demikian, berdasarkan Perpres Dewan Pertahanan Nasional (DPNa) kewenangannya menjadi sangay luas dan multi multi-interpretatif yakni, “DPN juga memiliki fungsi pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Presiden” sebagaimana disebut dalam Pasal 3 huruf F Perpres.

Koalisi memandang, penambahan wewenang ini tidak sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Selain itu penambahan wewenang yang luas untuk melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Presiden sesungguhnya bersifat karet sehingga dapat menimbulkan multi interpretasi. 

Luasnya kewenangan Dewan Pertahanan Nasional memiliki potensi penyalahgunaan wewenang yang tinggi. Dengan kewenangan yang luas dan multi interpretasi tersebut maka DPN berpotensi menjadi lembaga superbody yang akan membahayakan kehidupan demokrasi dan HAM kita. Dengan kewenangan multitafsir itu, DPN potensial di salahgunakan untuk kepentinhan kepentingan tertentu.

“Perlu kami ingatkan bahwa pada masa Orde Baru terdapat lembaga serupa yang memiliki kewenangan luas seperti Dewan Pertahanan Nasional yakni Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) yang pada praktiknya menjadi lembaga yang melindungi kekuasaan otoriter Orde Baru dan melakukan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM,” ungkap  Gina.

Menurut Gina, koalisi menilai pembentukan lembaga baru seperti Dewan Pertahanan Nasional harus selaras dengan aturan perundang-undangan yang ada dan didasarkan pada prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governnance). Dewan Pertahanan Nasional tidak boleh diberikan kewenangan yang melampaui pengaturan dalam undang-undang. Selain itu, Perpres terkait DPN juga tidak secara tegas mengakomodir keterwakilan pakar/ahli dan masyarakat sipil di dalam lembaga tersebut sebagaimana diatur dalam pasal 5 ayat (4) perpres tentang DPN.

Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional harus benar-benar ditujukan untuk kepentingan pertahanan negara, memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden, bukan untuk kepentingan politik kekuasaan. Untuk itu, perlu dihindari pengaturan terkait Dewan Pertahanan Nasional yang bersifat karet dan berpotensi disalahgunakan.  

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement