Jumat 20 Dec 2024 20:42 WIB

Pemilu tak Lagi Berfungsi Sebagai Arena Kompetisi yang Setara

Laporan lembaga global menunjukkan adanya gelombong otokratisasi di Indonesia.

Bedah buku berjudul Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi di Jakarta, Jumat (20/12/2024).
Foto: Republika
Bedah buku berjudul Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi di Jakarta, Jumat (20/12/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan dari lembaga global, seperti Freedom House, V-Dem, EIU, dan International IDEA menunjukkan adanya gelombang otokratisasi yang melanda dunia, termasuk Indonesia. Namun, di tengah tren global tersebut, skor demokrasi Indonesia versi Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) justru menunjukkan anomali yang tidak sejalan dengan temuan lembaga pengukur demokrasi internasional.

Buku 'Selamat Datang Otokrasi: Pemilu, Kekuasaan, dan Kemunduran Demokrasi' berupaya menggali lebih dalam bagaimana pemilu di Indonesia berkontribusi terhadap pergeseran menuju otokrasi elektoral. Peneliti Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), Aqidatul Izza Zain pun mengangkat isu penting mengenai tren kemunduran demokrasi, baik dalam konteks global maupun di Indonesia dalam buku tersebut.

Aqidatul memulai memberi gambaran tentang gelombang otokratisasi yang terjadi di berbagai negara, sebagaimana dilaporkan oleh Freedom House, V-Dem, dan lembaga lainnya. Dalam konteks Indonesia, pemilu menjadi indikator utama untuk memahami dinamika demokrasi.

"Buku ini menyoroti perjalanan demokrasi Indonesia sejak era reformasi 1998 hingga 2024, menggambarkan bagaimana sistem demokrasi yang awalnya menjanjikan perlahan menunjukkan tanda-tanda regresi, terutama dalam beberapa tahun terakhir," ujar Aqidatul di Jakarta, Jumat (20/12/2024).

Ketua tim penulis buku ini menjelaskan, karyanya berupaya mengidentifikasi gejala-gejala otokratisasi yang semakin terakselerasi, mulai dari politisasi birokrasi, penyalahgunaan sumber daya negara, hingga lemahnya independensi penyelenggara pemilu. Salah satu fokus utama adalah analisis terhadap Pilpres 2024. 

Menurut dia, hasil expert assessment Pilpres 2024 yang dilakukan SPD memberikan gambaran yang kompleks dan mengkhawatirkan mengenai kualitas demokrasi di Indonesia. Dari tujuh variabel utama yang dievaluasi, lima di antaranya, kesetaraan kompetisi (3,04), proses kandidasi (3,63), penghitungan suara (4,36), otonomi dan kapasitas penyelenggara (4,48), serta kebebasan memilih (bebas dari kekerasan/intimidasi dan mobilisasi) (5,75), mendapatkan penilaian negatif.

"Hanya dua variabel, yaitu kebebasan sipil (5,75) dan hak memilih (6,19), yang menunjukkan skor yang relatif positif," ucap Aqidatul. Data tersebut menunjukkan, demokrasi Indonesia sedang mengalami tantangan serius. Hal itu mengindikasikan pergeseran menuju karakteristik rezim hibrida, yaitu elemen otoritarian dan demokratis bercampur dalam satu sistem politik.

Aqidatul menambahkan, temuan utama di dalam buku juga menyoroti penurunan kualitas pemilu di Indonesia. Dia menilai, pemilu tidak lagi berfungsi sebagai arena kompetisi yang setara, tetapi justru menjadi alat untuk memperkokoh kekuasaan.

"Dalam konteks Pilpres 2024, proses kandidasi yang dipolitisasi dan ketidaksetaraan kompetisi menjadi bukti nyata distorsi prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini diperparah dengan adanya politisasi birokrasi, mobilisasi aparatur negara, penyalahgunaan sumber daya negara untuk mendukung kandidat tertentu, hingga lemahnya independensi penyelenggara pemilu," kata Aqidatul.

Dia menyebut, fenomena itu menunjukkan Indonesia mulai memasuki transisi menuju otokrasi elektoral. Maksudnya, kata Aqidatul, pemilu yang seharusnya menjadi instrumen utama demokrasi justru digunakan untuk mengonsolidasikan kekuasaan aktor-aktor dominan. "Pilpres 2024 menandai ancaman serius bagi demokrasi substantif," ujar Aqidatul.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement