Ahad 22 Dec 2024 01:01 WIB

Kenaikan PPN, Narasi PDIP, dan Komitmen Prabowo

Kenaikan PPN 12 persen sudah menjadi amanat undang-undang yang harus dilaksanakan.

Kenaikan PPN 12 persen.
Foto: Republika/Prayogi
Kenaikan PPN 12 persen.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Muhammad E. Fuady, Dosen Fikom Unisba

Menjelang akhir tahun, seiring dengan rencana pemberlakuan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen, suhu politik terasa agak memanas. Kebijakan itu menuai penolakan publik dan kelompok oposisi.

Di media sosial, netizen mengkritik kebijakan pajak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Mereka merasa keberatan dengan kenaikan pajak. Namun, jika ditelusuri lebih jauh, kebijakan ini tidaklah diambil sepihak dan mendadak.

Pada tahun 2021, di era Presiden Jokowi, pemerintah mengajukan Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP), yang mencakup rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) secara bertahap: dari 10 persen menjadi 11 persen pada tahun 2022, hingga 12 persen pada tahun 2025.

Pada saat itu, mayoritas fraksi di DPR, termasuk PDIP sebagai partai penguasa dengan kursi terbanyak, mendukung pengesahan RUU HPP. PDIP memainkan peran besar dalam proses legislasi tersebut, dengan alasan bahwa kebijakan ini diperlukan untuk meningkatkan penerimaan negara dan mewujudkan keadilan dalam sistem perpajakan. Padahal kebijakan ini dinilai tidak sepenuhnya adil bagi masyarakat. Bagaimana bisa Indonesia sebagai negara dengan upah minimum masyarakat yang relatif rendah menerapkan kebijakan pajak tertinggi di ASEAN.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi satu-satunya fraksi yang tegas menolak pengesahan RUU HPP. PKS berargumen bahwa kenaikan PPN akan menambah beban ekonomi masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. Dua partai lainnya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) hanya meminta pemerintah untuk menunda pelaksanaan kenaikan PPN tersebut.

Situasi politik berubah, politisi PDIP yang dulu menyokong, kinj mendesak pemerintah untuk membatalkan kenaikan PPN. Menurut mereka ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) dan dampak lainnya ada di depan mata.

Peran sebagai oposisi memang secara strategis memberi PDIP keleluasaan untuk tampil sebagai pembela kepentingan masyarakat. PDIP mencoba menuai keuntungan dari perannya tersebut. Partai Banteng sedang mengonstruksi kembali citra mereka yang tergerus selama sepuluh tahun era Jokowi menjadi presiden

Tanpa mengabaikan PDIP mungkin mencermati apa yang menjadi beban masyarakat, kita tidak bisa lupa bahwa partai ini sebenarnya memiliki andil atas kenaikan PPN 12 persen. Dengan dukungan yang diberikan pada pengesahan RUU HPP, PDIP  turut berkontribusi pada kebijakan yang kini mereka kritik.

Ironisnya, PDIP yang sebelumnya berperan besar dalam pengesahan kebijakan ini kini mencoba mengubah narasi. Dengan mendukung penolakan publik terhadap PPN 12 persen, PDIP berupaya mengubah persepsi masyarakat dari partai penguasa yang memiliki andil besar atas rencana kenaikan PPN menjadi partai yang sejalan dengan aspirasi rakyat. Langkah ini tidak hanya memberikan keuntungan elektoral tetapi juga menyamarkan peran historis mereka dalam kenaikan pajak tersebut. PDIP lebih tampak sedang melempar batu sembunyi tangan.

Dinamika politik memang dipengaruhi oleh kepentingan pragmatis, partai politik dapat dengan mudahnya beralih dari oposisi menjadi pendukung, tergantung pada situasi dan kepentingan yang ada. Transparansi dan kesadaran akan konteks historis sangat diperlukan agar masyarakat tidak hanya melihat narasi politik yang menguntungkan pihak tertentu. Mereka tidak terdistorsi narasi yang sedang dibangun partai politik pada saat ini.

Nasi telah menjadi bubur; kenaikan PPN 12 persen sudah menjadi amanat dari undang-undang yang harus dilaksanakan, terlepas dari pro dan kontra yang ada. Dalam konteks ini, Presiden Prabowo Subianto diharapkan berpihak pada kepentingan masyarakat. Penting untuk memastikan bahwa kebijakan itu untuk hanya untuk barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat kelas atas dan tidak membebani masyarakat kecil.

Oleh karena itu, penerapan PPN 12 persen harus dilakukan secara selektif, dengan mempertimbangkan barang dan jasa yang tidak menyentuh kebutuhan pokok masyarakat. Dengan langkah ini, diharapkan dampak  dari kenaikan PPN dapat diminimalkan, sehingga masyarakat tetap terlindungi dari beban ekonomi yang berlebihan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement