REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia memproyeksikan kebutuhan uang tunai sebesar Rp 133,7 triliun selama Natal 2024 dan Tahun Baru 2024 (Nataru 2024/2025). Angka itu meningkat 2,56 persen dari realisasi periode Nataru 2023/2024 yang mencapai Rp 130,37 triliun.
Proyeksi tersebut juga mempertimbangkan transaksi pembayaran nontunai yang melonjak signifikan. Hal itu sejalan dengan kebutuhan masyarakat, yang diperkirakan lebih 110,6 juta orang melakukan perjalanan selama Nataru 2024/2025. Peningkatan itu diharapkan turut mendorong penggunaan pembayaran digital, termasuk QRIS, sebagai solusi yang lebih praktis dan efisien.
PT Jalin Pembayaran Nusantara (Jalin), sebagai bagian Holding BUMN Danareksa berupaya memperkuat keamanan pembayaran digital dan kesiapan operasional dalam mengantisipasi lonjakan transaksi keuangan selama Nataru 2024/2025. Direktur Operasional Jalin, Argabudhy Sasrawiguna menyatakan, kesiapan perusahaan dalam menghadapi peak season Nataru 2024/2025.
"Kami telah menyiagakan personel 24 jam tujuh hari untuk memastikan operasional jaringan ATM Link dan layanan transaksi digital lainnya, seperti QRIS dan debet, berjalan lancar sepanjang periode ini. Kami juga mengoperasikan Posko Nataru yang aktif sejak 23 Desember 2024 hingga 5 Januari 2025, berfokus pada titik-titik tanggal dengan peningkatan transaksi tertinggi," kata Argabudhy di Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Posko tersebut akan mendukung lebih dari 80 member perbankan dan fintech yang tergabung dalam layanan Link. Menurut Argabudhi, Jalin menyadari keberlanjutan ekosistem pembayaran digital membutuhkan infrastruktur yang andal untuk menjamin kelancaran transaksi, baik tunai maupun nontunai.
Ketua Tim Keamanan Teknologi Informasi & Komunikasi Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Indarto Prasetyo Bramono menyampaikan, periode peak season sering kali menjadi puncak peningkatan aktivitas yang memerlukan pengawasan ketat terhadap potensi transaksi mencurigakan. Dari Januari sampai November 2024, pihaknya menerima 121.253 laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM).
Adapun sekitar 21,3 persennya terkait dengan kasus penipuan. Indarto pun memperkirakan, angka itu meningkat pada periode peak season kali ini. "Kondisi ini menegaskan pentingnya penerapan keamanan yang komprehensif, mencakup aplikasi, jaringan, end point, dan akses, serta teknologi deteksi dini yang mampu mengidentifikasi pola anomali transaksi secara real time untuk meminimalkan potensi transaksi mencurigakan," ujar Indarto.
Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) turut menanggapi dengan mendorong kolaborasi lintas sektor untuk meningkatkan literasi masyarakat tentang risiko keamanan siber. "ASPI mengajak industri perbankan dan fintech untuk mengedukasi masyarakat mengenai cara melindungi data pribadi dan menghindari ancaman siber seperti phishing dan penipuan digital lainnya," ujar Head of Product & Technology ASPI, Tata Martadinata.