REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak abad ke-16 Masehi, Tarekat Qadiriyah mulai masuk ke Indonesia. Pembawanya ialah para alim ulama Tanah Air yang pernah menuntut ilmu-ilmu Islam di Tanah Suci. Sepulang dari Haramain, mereka menyebarkan ajaran sufistik itu ke tempat asalnya masing-masing. Di Pulau Jawa, sejumlah pondok pesantren yang menjadi pusat penyebaran Qadiriyah ialah Pesantren Pegentongan, Bogor; Suryalaya Tasikmalaya; serta Rejoso dan Tebuireng Jombang.
Menurut beberapa literatur, sosok yang membawa ajaran tarekat itu ke Nusantara adalah Syekh Abdul Karim dari Banten. Salik itu merupakan murid kesayangan Syekh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim di Makkah. Syekh Sambas merupakan ulama paling berjasa dalam penyebaran Tarekat Qadiriyah. Murid-murid Sambas yang berasal dari Jawa dan Madura setelah pulang ke Indonesia menjadi penyebar aliran tasawuf itu.
Tarekat ini mengalami perkembangan pesat pada abad ke-19, terutama ketika menghadapi penjajahan Belanda. Sebagaimana diakui oleh Annemerie Schimmel dalam bukunya, Mystical Dimensions of Islam, tarekat juga berpotensi besar dalam menggalang kekuatan kaum Muslimin.
Untuk menyebut satu contoh, yakni Geger Cilegon. Peristiwa yang terjadi di Banten pada 1888 itu merupakan pemberontakan para petani setempat. Dalam melawan kesewenangan pemerintah kolonial, mereka dipimpin sejumlah ulama lokal. Seorang di antaranya, Syekh Abdul Karim, diketahui merupakan anggota Tarekat Qadiriyah.