Kamis 26 Dec 2024 14:04 WIB

Jatuhnya Rezim Assad Bangkitkan Ekonomi Suriah

Rezim Assad di Suriah berakhir di tangan kelompok perlawanan.

Pejuang oposisi meluapkan kegembiraanya saat membakar bangunan pengadilan militer di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad.
Foto: AP Photo/Hussein Malla
Pejuang oposisi meluapkan kegembiraanya saat membakar bangunan pengadilan militer di Damaskus, Suriah, Ahad (8/12/2024). Kekuasaan Partai Baath di Suriah tumbang pada Ahad (8/12/2024). Hal itu ditandai ibu kota Damaskus lepas dari kendali rezim Presiden Bashar al-Assad. Runtuhnya kekuatan pasukan Assad di ibu kota mengakhiri 61 tahun pemerintahan Partai Baath yang penuh kekerasan dan 53 tahun kekuasaan keluarga Assad.

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Jatuhnya rezim Assad pada 8 Desember membawa kelegaan nyata bagi warga dan ekonomi Suriah. Mereka semakin bersemangat menumbuhkan ekonomi.

Jatuhnya rezim tidak hanya menyingkirkan kekuatan penindas seperti militer, polisi, dan mafia tetapi juga menandai dimulainya babak ekonomi baru, menurut warga Suriah.

Baca Juga

Di bawah pemerintahan baru, pembatasan ketat terhadap perdagangan mata uang -- yang dulunya dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara -- telah dicabut, bersamaan denda besar.

Peraturan ekspor impor dipermudah, dan upah pegawai publik meningkat hingga 300 persen, menurut pernyataan pemerintah. Bank-bank kembali dibuka dan bahkan panjangnya antrian di ATM di Damaskus menjadi pemandangan umum.

Harga komoditas seperti tepung, gula, dan bahan bakar mulai turun. Di bawah Assad, tentara yang berpenghasilan 35 dolar AS ( 570.000 rupiah) per bulan dilaporkan bertindak sebagai penegak mafia, memeras uang dari warga dan bisnis.

Saat rezim berkuasa pejabat tinggi mereka memonopoli bahan-bahan pokok, membuat harga meningkat melalui suap dan skema pasar gelap.

“Sejak 8 Desember, semuanya berubah 180 derajat,” kata Wisam Bakdash, manajer generasi ketiga Bakdash Ice Cream di Al-Hamidiyah Souq yang ikonik.

"Warga berbelanja ketika mereka bahagia, namun rasa takut membuat mereka enggan membeli. Sekarang, keamanan ekonomi, masyarakat dan bahkan wajah mereka telah berubah, yang dulunya muram, sekarang tersenyum,” kata Bakdash kepada Anadolu.

Ia mencatat bahwa pencabutan pembatasan pertukaran mata uang telah menyebabkan harga turun, sehingga kebutuhan pokok seperti gula dan (minuman) salep menjadi lebih terjangkau.

Ia menambahkan bahwa tokoh-tokoh yang terkait dengan rezim sebelumnya mengendalikan barang-barang ini untuk menaikkan harga demi keuntungan pribadi.

Dengan membaiknya situasi ekonomi di Suriah, Pasar Al-Hamidiyah, yang dibangun pada era Ottoman, telah kembali ramai. Papan nama toko kini mengiklankan penukaran mata uang dalam dolar, euro, dan lira Turki, sementara pedagang kaki lima memanggil calon pelanggan.

Sebelumnya, membawa mata uang asing merupakan pelanggaran yang dapat dijatuhi hukuman penjara, sekarang menjadi hal yang lumrah, dimana penduduk Suriah dapat secara terbuka memperdagangkan uang di pasar.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement