REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemerintah telah menyediakan berbagai stimulus yang beriringan dengan ketetapan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Ragam stimulus yang diberikan tak terlepas dari kritikan-kritikan yang menyertainya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan berbagai insentif yang bakal digelontorkan oleh pemerintah atas kebijakan PPN 12 persen yang termuat dalam Paket Stimulus Ekonomi. Paket stimulus itu diberikan kepada berbagai kelas masyarakat dengan nilai insentif yang bakal diberikan oleh pemerintah sebesar Rp 265,6 triliun pada 2025.
Setidaknya ada tiga kelompok yang memperoleh insentif tersebut. Pertama, insentif bagi rumah tangga. Bagi kelompok rumah tangga berpendapatan rendah, stimulus yang diberikan berupa PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 1 persen dari kebijakan PPN 12 persen untuk barang-barang pokok dan barang penting (bapokting). Bapokting itu meliputi Minyak Kita, tepung terigu, dan gula industri, sehingga PPN yang dikenakan tetap sebesar 11 persen.
Stimulus Bapokting tersebut dinilai cukup krusial untuk menjaga daya beli masyarakat terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok. Secara khusus, stimulus untuk gula industri diharapkan dapat menopang industri pengolahan makanan-minuman yang memiliki kontribusi sebesar 36,3 persen terhadap total industri pengolahan.
Di samping itu, pemerintah juga menetapkan kebijakan bantuan pangan atau beras sebanyak 10 kilogram (kg) per bulan yang akan diberikan bagi masyarakat di desil 1 dan 2 sebanyak 16 juta penerima. Namun, bantuan itu hanya akan dilakukan selama dua bulan pada Januari—Februari 2025.
Lalu, ada juga stimulus berupa pemberian diskon biaya listrik sebesar 50 persen, yang juga untuk dua bulan yakni Januari dan Februari 2025. Insentif diskon tarif listrik itu diperuntukkan bagi pelanggan listrik dengan daya listrik terpasang hingga 2.200 VA.
Kedua, insentif bagi kelas menengah. Pemerintah menyatakan menyiapkan berbagai stimulus kebijakan bagi kalangan kelas menengah guna menjaga daya beli. Diantaranya melanjutkan pemberian insentif yang telah berlaku sebelumnya seperti PPN DTP Properti bagi pembelian rumah dengan harga jual sampai dengan Rp5 miliar, dengan dasar pengenaan pajak sampai dengan Rp2 miliar.
Lalu, PPN DTP yang diberikan kepada kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) atau electric vehicle (EV) atas penyerahan EV roda empat tertentu dan bus tertentu, pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) DTP KBLBB/EV atas impor EV roda empat tertentu secara utuh (completely built up/CBU), dan penyerahan EV roda empat tertentu yang berasal dari produksi dalam negeri (completely knock down/CKD), serta pembebasan bea masuk EV CBU.
Selain itu, ada juga kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah untuk masyarakat kelas menengah. Yakni pemberian PPnBM DTP kendaraan bermotor hybrid, dan pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP untuk pekerja di sektor padat karya dengan gaji sampai dengan Rp 10 juta per bulan. Kemudian, optimalisasi jaminan kehilangan pekerjaan dari BPJS Ketenagakerjaan sebagai penyanggabagi para pekerja yang mengalami PHK dengan tidak hanya manfaat tunai, tapi juga manfaat pelatihan dan akses informasi pekerjaan, serta relaksasi atau diskon sebesar 50 persen atas pembayaran iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) kepada sektor industri padat karya.
Ketiga, insentif bagi dunia usaha. Selain menyasar masyarakat umum, pemeritah juga menyiapkan insentif bagi dunia usaha, terutama untuk perlindungan kepada UMKM dan industri padat karya yang merupakan tulang punggung perekonomian nasional.
Insentif tersebut berupa perpanjangan masa berlaku PPh Final 0,5 persen sampai dengan tahun 2025 bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP OP) UMKM yang telah memanfaatkan selama tujuh tahun dan berakhir di tahun 2024. Untuk UMKM dengan omzet di bawah Rp 500 juta per tahun sepenuhnya dibebaskan dari pengenaan PPh tersebut.
Pemerintah juga menyiapkan pembiayaan industri padat karya untuk revitalisasi mesin guna meningkatkan produktivitas dengan skema subsidi bunga sebesar 5 persen.
Sementara itu, hal baru dalam kebijakan PPN 12 persen ini ditujukan bagi barang dan jasa mewah yang sebelumnya tidak dikenakan PPN menjadi dikenakan. Seperti bahan makanan premium (antara lain beras, buah-buahan, ikan dan daging premium), pelayanan kesehatan medis premium, jasa pendidikan premium, dan listrik pelanggan rumah tangga sebesar 3500 VA—6600 VA, dalam paket kebijakan ekonomi ini akan dikenakan PPN 12 persen. Kebijakan itu dinilai sejalan dengan azas keadilan dan gotong-royong atas barang dan jasa mewah yang dikonsumsi masyarakat mampu.
“Paket Kebijakan Ekonomi ini dirancang untuk melindungi masyarakat, mendukung pelaku usaha terutama UMKM dan industri padat karya, dan menjaga stabilitas harga serta pasokan bahan pokok, serta sekaligus dalam rangka mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional,” kata Menko Airlangga.
Terpisah, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyampaikan kritikannya mengenai kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen, termasuk mengenai stimulus-stimulus yang dijanjikan oleh pemerintah sebagai ‘kompensasi’. Menurutnya, kompensasi itu tidak sebanding.
“Kompensasi yang terbatas dan jangka pendek seperti demikian, tentu tidak akan sepadan dan memadai untuk mengkompensasi kenaikan tarif PPN yang bersifat permanen,” kata Yusuf, merujuk pada bantuan beras selama dua bulan untuk 16 juta penerima, diskon tarif listrik 50 persen untuk pelanggan dengan daya hingga 2200 VA selama dua bulan, dan perpanjangan PPh final 0,5 persen untuk UMKM hingga 2025.
Yusuf juga menyoroti pemberian insentif kepada kelas atas, seperti insentif PPN senilai Rp 15,7 triliun untuk pembelian kendaraan listrik dan pembelian rumah hingga Rp 5 miliar, yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip keadilan pajak.
“Kompensasi yang diberikan pemerintah tidak cukup untuk menutupi tekanan ekonomi yang akan dirasakan masyarakat akibat kenaikan tarif PPN ini. Bahkan, kebijakan insentif untuk kelas atas justru menunjukkan ketimpangan dalam prioritas kebijakan pemerintah,” jelasnya.
Lebih lanjut, menurut kajian Next Policy, Yusuf menjelaskan, kebijakan PPN 12 persen tersebut berpotensi memperburuk kesenjangan, karena PPN lebih bersifat regresif dibandingkan PPh dan orang miskin menanggung beban pajak lebih besar dari orang kaya.
“PPN lebih bersifat regresif karena dibayarkan saat pendapatan dibelanjakan untuk barang dan jasa dengan tarif tunggal terlepas berapapun tingkat pendapatan konsumen. Karena itu setiap kenaikan tarif PPN akan berimplikasi pada kesenjangan yang semakin tinggi,” ujar Yusuf.
Ia menjelaskan bahwa dari estimasi pengeluaran rumah tangga pada 2023, dengan tarif PPN 11 persen, konsumen miskin menanggung beban pajak sebesar 5,56 persen dari pengeluaran mereka, sedangkan konsumen kelas atas menanggung 6,54 persen. Beban PPN yang hampir merata tersebut menunjukkan bahwa kenaikan tarif menjadi 12 persen akan semakin menekan daya beli kelompok miskin dan menengah.
Simulasi Next Policy menunjukkan bahwa beban PPN terbesar justru ditanggung oleh kelas menengah. Dari estimasi total beban PPN Rp 294,2 triliun pada 2023, sekitar 40,8 persen atau senilai Rp 120,2 triliun dibayar oleh kelas menengah, yang hanya mencakup 18,8 persen dari total jumlah penduduk.
“Kelas menengah yang sudah mengalami tekanan ekonomi besar akan semakin tergerus oleh kebijakan ini,” tegas Yusuf.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen ini juga akan melemahkan ketahanan ekonomi sebagian besar masyarakat yang kondisinya semakin rapuh, bahkan kelas menengah yang memiliki ketahanan ekonomi tinggi. Pasca kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022 menunjukkan penyusutan jumlah penduduk kelas menengah dari 56,2 juta orang (20,68 persen) pada Maret 2021 menjadi 52,1 juta orang (18,83 persen) pada Maret 2023.
“Penduduk kelas menengah ini jatuh ke kelas ekonomi yang lebih rendah dengan ketahanan ekonomi yang semakin lemah,” ungkap Yusuf.
Sementara itu, penduduk calon kelas menengah melonjak dari 139,2 juta orang (51,27 persen) pada Maret 2021 menjadi 147,8 juta orang (53,41 persen) pada Maret 2023. Dampak negatif Kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen pada 2025 dipastikan akan semakin menekan daya beli masyarakat yang terlihat semakin melemah, terutama kelas menengah dan kelas bawah. Kejatuhan daya beli masyarakat telah melemahkan pertumbuhan ekonomi dalam tahun-tahun terakhir, terutama pasca kenaikan tarif PPN menjadi 11 persen pada 2022.
“Setelah tumbuh 5,31 persen pada 2022, pertumbuhan ekonomi Indonesia melemah menjadi 5,05 persen pada 2023. Bahkan, dengan adanya dorongan pemilu pada 2024, pertumbuhan diperkirakan tetap stagnan di kisaran 5 persen,” terangnya.
Selain itu, Yusuf memperingatkan bahwa kenaikan tarif PPN akan mendorong inflasi yang tidak akan ringan. “PPN berlaku secara masif pada mayoritas barang dan jasa, sehingga kenaikan tarif ini akan memberikan tekanan psikologis pada harga barang secara umum,” kata dia.
Bahkan barang kebutuhan pokok, jasa kesehatan, jasa pendidikan dan listrik pelanggan rumah tangga, yang selama ini dibebaskan PPN, kini akan terkena PPN 12 persen ketika dipandang pemerintah ‘tergolong mewah’.
“Tekanan kenaikan tarif PPN pada tergerusnya daya beli masyarakat karena banyaknya barang dan jasa yang secara resmi bukan kebutuhan pokok namun secara empiris telah menjadi ‘kebutuhan pokok’ masyarakat dan terkena kenaikan tarif PPN ini seperti pakaian, sabun, pulsa internet, hingga layanan transaksi dengan uang elektronik,” ujar Yusuf.