REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun kesembilan Hijriyah, banyak suku di Semenanjung Arab mengirimkan utusan untuk menemui Nabi Muhammad SAW. Di hadapan Rasulullah SAW, mereka menyatakan bahwa diri dan seluruh kaumnya memeluk Islam.
Ada seorang utusan yang datang pada momen itu, yakni Musailimah. Ia berasal dari Bani Hanilab.
Ternyata, Musailimah tidak tulus bersyahadat di hadapan Rasulullah SAW. Begitu kembali ke kampungnya, ia justru mengaku sebagai nabi Allah.
"Mengapa Allah mengirimkan utusan-Nya kepada Suku Quraisy, bukan sukuku?" demikian batinnya dalam perjalanan pulang.
Ada yang mengikuti ajakan Musailimah. Ada juga yang menolak. Mereka yang tidak sudi mengakui "kenabian" dedengkot Bani Hanilab itu lantas bergabung dengan Madinah.
Merasa di atas angin, Musailimah memberanikan diri mengirim surat kepada Rasulullah SAW. Utusannya menyampaikan pesan kepada sang khatam al-anbiya.
"Dari Musailimah, utusan Allah kepada Muhammad, utusan Allah. Damai sejahtera bagi kamu. Saya siap untuk berbagi dengan Anda. Saya akan menguasai separuh wilayah dan Anda akan memiliki separuh lainnya," demikian isi surat itu.
Rasulullah SAW kemudian memerintahkan sahabat untuk membalas surat Musailimah itu. Isinya sebagai berikut.
"Bismillahirrahmanirrahim. Dari Muhammad, utusan Allah, kepada Musailamah si penipu. Damai sejahtera siapapun yang mengikuti tuntunan. Allah akan mewariskan bumi kepada siapa pun dari hamba-Nya yang Dia kehendaki dan kemenangan terakhir adalah bagi orang-orang yang berhati-hati dalam tugas mereka. "
Hari demi hari berlalu. Meski sudah menerima surat dari Nabi SAW itu, Musailimah justru tidak menghentikan ajaran sesatnya. Rasulullah SAW lalu mengirimkan utusan kepada si nabi palsu.
Habib bin Zaid adalah sosok yang ditugaskan Rasulullah SAW untuk menyampaikan pesan kepada Musailimah. Sang sahabat Nabi juga diamanahi berdakwah kepada pemimpin Bani Hanilab itu agar mau bertobat dan kembali kepada Islam.
View this post on Instagram
Demi Islam