REPUBLIKA.CO.ID,MAKKAH -- Apakah dalam Islam, orang yang korupsi (koruptorl bisa isamakan dengan pencuri? Bila disamakan dengan pencuri, bisakah diputuskan vonis hukuman potong tangan?
Allah ﷻ berfirman,
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
"Laki-Iaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa Iagi Maha Bijaksana". (Alquran surah Al Maidah ayat 38).
Dikutip dari buku Harta Haram Muamalat Kontemporer karya Erwandi Tarmizi, Firman Allah yang memerintahkan untuk memotong tangan pencuri bersifat mutlaq. Tidak dijelaskan berapa batas maksimal harga barang yang dicuri, di mana tempat barang yang dicurinya dan lain sebagainya. Akan tetapi kemutlaqan ayat diatas ditaqyid (dirinci) oleh hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa salIam.
Oleh karena itu, para ulama mensyaratkan beberapa hal untuk menjatuhkan hukum potong tangan bagi pencuri. Di antaranya, barang yang dicuri berada dalam (hirz) tempat yang terjaga dari jangkauan orang lain, seperti brankas atau lemari yang kuat yang berada di kamar tidur untuk barang berharga, semisal: emas, perhiasan, uang, surat berharga dan lainnya dan seperti garasi untuk mobil. Bila persyaratan ini tidak terpenuhi tidak boleh memotong tangan pencuri.
Berdasarkan sabda Nabi shaIIaIIahu 'aIaihi wa sallam saat ditanya oleh seorang laki-laki dari suku Muzainah tentang hukuman untuk pencuri buah kurma,
"Pencuri buah kurma dari pohonnya Ialu dibawa pergi, hukumannya adalah dia harus membayar dua kali lipat. Pencuri buah kurma dari tempat jemuran buah setelah dipetik hukumannya adalah potong tangan, jika harga kurma yang dicuri seharga perisai yaitu: 1/4 dinar (kurang lebih 1,07 gram emas). (HR. Nasa'i dan Ibnu Majah).
Hadits ini menjelaskan maksud ayat yang memerintahkan potong tangan bahwa barang yang dicuri berada dalam penjagaan pemiliknya dan sampai seharga 1/4 dinar.
Persyaratan ini tidak terpenuhi untuk kasus korupsi, karena koruptor menggelapkan uang milik negara yang berada dalam genggamannya melalui jabatan yang dipercayakan kepadanya. Dan dia tidak mencuri uang negara dari kantor kas negara. Oleh karena itu, para ulama tidak pernah menjatuhkan sanksi potong tangan kepada koruptor.
Untuk kasus korupsi, yang paling tepat adalah bahwa koruptor sama dengan mengkhianati amanah uang atau barang yang dititipkan, karena koruptor dititipi amanah uang atau barang oleh negara. Dan orang yang mengkhianati amanah dengan menggelapkan uang atau barang yang dipercayakan kepadanya tidaklah dipotong tangannya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ’aIaihi wa sallam,
"Orang yang mengkhianati amanah yang dititipkan kepadanya tidaklah dipotong tangannya". (HR. Tirmidzi).