REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Bursa Efek Indonesia (BEI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sepakat akan melakukan pengetatan terhadap ketentuan listing atau pencatatan suatu efek dalam daftar efek di Bursa. Hal itu menyusul akan dilakukannya delisting terhadap 10 perusahaan pada 2025.
Direktur Utama BEI Iman Rachman mengungkapkan bahwa pihaknya sedang berdiskusi dengan OJK untuk memperkuat aturan terkait perusahaan yang akan melakukan penawaran umum perdana/ initial public offering (IPO) dan keberlanjutan perusahaan tercatat.
Sejumlah usulan yang tengah dibahas diantaranya ihwal peningkatan persentase saham publik (free float). BEI mempertimbangkan menaikkan free float, khususnya untuk perusahaan dengan ekuitas besar.
“Beberapa hal yang kita usulkan, pertama misalnya free float-nya, apakah kita akan naikkan free float-nya yang selama ini? Bahwa perusahaan tercatat free float-nya kalau dia ekuitas di atas Rp 2 triliun, maksimum free float-nya 10 persen. Apakah kita akan tingkatkan sehingga tadi likuiditasnya lebih banyak?” kata Iman dalam Konferensi Pers Penutupan Perdagangan BEI di Gedung BEI, Jakarta, Senin (30/12/2024).
Iman melanjutkan, BEI juga mempertimbangkan untuk melakukan perpanjangan durasi minimal operasional perusahaan sebelum IPO, yang saat ini hanya satu tahun, bakal menjadi lebih lama.
“Ini juga jadi concern dari bursa dan juga OJK untuk membuat perusahaan itu lebih, secara fundamentalnya bisa lebih terukur ketika tercatat. Ini yang juga kita diskusikan dengan OJK terkait dengan peraturan pencatatan,” terangnya.
Iman menekankan mengenai keputusan delisting terhadap 10 perusahaan pada 2025. Ia menyebut, delisting tidak semata-mata terjadi karena kerugian perusahaan. Menurutnya, delisting dilakukan jika perusahaan berada dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) atau bahkan dilikuidasi. Sehingga, kerugian tidak juga secara otomatis menjadi alasan dilakukan delisting terhadap suatu emiten.
Ia juga menegaskan mengenai pentingnya membedakan kondisi fundamental perusahaan saat IPO dengan kinerja sahamnya setelah tercatat.
“Bisa dilihat bahwa perusahaan-perusahaan tercatat tersebut secara fundamental ketika tercatat itu menunjukkan kinerja yang positif atau artinya meningkat dibandingkan sebelum tercatat. Kita enggak bicara dari rugi, karena rugi dimungkinkan,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Komisioner Pengawas Pengelolaan Investasi Pasar Modal dan Lembaga Efek OJK, Aditya Jayaantara mengatakan, OJK saat ini juga tengah menyusun Peraturan OJK (POJK) untuk memperkuat proses IPO dan aturan delisting.
“Dan sekarang dalam tahap pemerintahan di Menteri Hukum, dalam konteks kita memperkuat emiten dan perusahaan publik,” kata Aditya.
Di samping itu, OJK juga sedang mengevaluasi proses IPO untuk memastikan bahwa penyebab delisting, seperti PKPU atau kerugian terus-menerus, dapat diminimalkan.
“Kita akan coba review, termasuk juga meminta informasi atau keterangan dari teman-teman di lembaga penunjang atau perusahaan juga,” ujar Aditya.
Diketahui, sesuai dengan Peraturan Bursa Nomor I-N tentang Pembatalan Pencatatan (Delisting) dan Pencatatan Kembali (Relisting) Saham di Bursa, BEI menghapus pencatatan saham perusahaan tercatat sesuai dengan ketentuan peraturan apabila perusahaan tercatat mengalami sekurang-kurangnya satu kondisi di bawah ini.
Yakni: a. Ketentuan III.1.3.1 Perusahaan tercatat mengalami suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat, baik secara finansial atau secara hukum, dan perusahaan tercatat tidak dapat menunjukkan indikasi pemulihan yang memadai, b. Ketentuan III.1.3.2 saham perusahaan tercatat telah mengalami suspensi efek, baik di pasar reguler dan pasar tunai, dan/atau di seluruh pasar, paling kurang selama 24 bulan terakhir.
Sehubungan dengan telah terpenuhinya salah satu kondisi sebagaimana tersebut pada Peraturan Bursa Nomor I-N, maka Bursa memutuskan Penghapusan Pencatatan Efek (Delisting) kepada Perusahaan Tercatat (Dalam Pailit) yang efektif pada 21 Juli 2025.
Setidaknya ada 10 perusahaan yang akan mengalami delisting, yakni PT Mas Murni Indonesia Tbk (MAMI), PT Forza Land Indonesia Tbk (FORZ), PT Hanson International Tbk (MYRX), PT Grand Kartech Tbk (KRAH), PT Cottonindo Ariesta Tbk (KPAS), PT Steadfast Marine Tbk (KPAL), PT Prima Alloy Steel Universal Tbk (PRAS), PT Nipress Tbk (NIPS) PT Panasia Indo Resources Tbk (HDTX), PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk (JKSW). Kedelapan perusahaan itu akan terkena delisting karena pailit.
Sedangkan dua emiten lainnya, yakni HDTX dan JKSW kena delisting karena suatu kondisi atau peristiwa yang signifikan berpengaruh negatif terhadap kelangsungan usaha perusahaan tercatat dan telah mengalami suspensi efek paling kurang selama 24 bulan terakhir.