REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) meminta pemerintah tidak menaikkan pungutan (PE) minyak sawit mentah (CPO). Menurut SPKS, hal ini penting guna mendukung kebijakan penerapan mandatori biodiesel B40 awal 2025.
Ketua Umum SPKS Sabarudin mengatakan menaikkan tarif PE CPO menjadi 10 persen dari sebelumnya 7,5 persen, bukanlah opsi atau pilihan terbaik, sebab kenaikan tersebut akan merugikan petani sawit. "Dalam setiap beban ekonomi termasuk pajak dan Pungutan Ekspor, yang dibebankan kepada perdagangan CPO akan diteruskan hingga petani kelapa sawit sebagai mata rantai ekonomi terendah," kata Sabarudin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (1/1/2025).
Menurut dia, dengan kenaikan tarif PE sebesar 2,5 persen tersebut, akan terjadi penurunan harga di TBS petani kelapa sawit berkisar Rp 300 hingga Rp 500 per kg TBS.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan akan menaikkan PE CPO dari 7,5 persen menjadi 10 persen berdasarkan harga referensi Kementerian Perdagangan RI guna mendukung target implementasi program Biodiesel B40 yang akan mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan peningkatan pungutan ini, akan menjadi sumber pendanaan utama insentif biodiesel, yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Menurutnya, peningkatan tarif PE akan berlaku setelah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur perubahan ini diterbitkan. Namun, Menko Airlangga belum memberikan detil mengenai tarif baru untuk produk olahan sawit lainnya.
Acuan tarif PE CPO saat ini diatur dalam PMK Nomor 62 Tahun 2024, dengan tarif 7,5 persen dari harga referensi Kementerian Perdagangan RI.
Sabarudin menyebutkan pungutan ekspor selama ini dikelola oleh BPDPKS, dengan penggunaan sebesar 90 persen untuk subsidi perusahaan-perusahaan yang ditugaskan untuk memproduksi biodiesel.
"Jadi sebenarnya yang diuntungkan dengan pungutan ekspor itu hanya perusahaan-perusahaan yang bermain di industri biodiesel, sementara petani sawit dikorbankan dengan penurunan harga TBS," katanya.
Dengan adanya kenaikan Pungutan Ekspor CPO dalam jangka pendek, lanjutnya, petani akan kesulitan dalam melakukan praktik budi daya terbaik karena tidak mampu untuk membeli pupuk dengan harga yang tinggi sementara harga TBS rendah, dan termasuk perawatan tanaman tidak akan maksimal karena harga yang terus naik.
Akibat jangka panjang, menurut dia, perkebunan kelapa sawit milik petani akan terbengkalai dan tidak terawat, produktivitas petani sawit akan rendah, dampaknya juga rendahnya produksi TBS dari petani sawit yang akan berdampak pada bahan baku dari program biodiesel yang membutuhkan bahan baku yang semakin besar.
Selain itu akan berdampak pada penerapan sertifikasi ISPO yang juga menjadi program dari pemerintah.
"Rencana kenaikan tarif PE menjadi 10 persen ini, menurut SPKS, harus ditinjau kembali dan tidak dilakukan pemerintah, karena akan merugikan petani sawit dan pemerintah sendiri," katanya.
SPKS menyarankan pemerintah sebaiknya membedah lebih dalam tentang industri biodiesel nasional, termasuk penggunaan teknologinya, karena penggunaan dana BPDPKS yang terlalu besar hingga 90 persen.
Melalui keterbukaan informasi dan keterlacakan bahan baku yang bersumber dari petani sawit, maka harga produksi biodiesel akan dapat ditelusuri lebih lanjut. Sehingga, model insentif (subsidi) biodiesel bisa dihitung kembali dan dibuat rumusan baru.
"Pentingnya melibatkan TBS petani sawit sebagai bahan baku dalam produksi biodiesel, akan menghemat biaya subsidi yang dikeluarkan pemerintah melalui BPDPKS, sehingga tidak perlu menaikkan tarif PE CPO," katanya.