Kamis 02 Jan 2025 09:25 WIB

Kecelakaan Pesawat Jeju Air Picu Kekhawatiran Soal Perawatan Pesawat, Berapa Biayanya?

Maskapai mengalami ketergantungan terhadap pemeliharaan di luar negeri.

Petugas pemadam kebakaran dan anggota tim penyelamat melakukan evakuasi di dekat puing-puing pesawat penumpang Jeju Air 7C2216 di Bandara Internasional Muan di Muan, Korea Selatan, Ahad (29/12/2024). Pesawat Jeju Air 7C2216 yang membawa 175 penumpang dan enam kru dalam penerbangan dari Bangkok, Thailand jatuh terbakar dan meledak setelah mendarat dan kemudian menghantam tembok pembatas di bandara Internasional Muan. Data sementara 85 orang tewas dalam peristiwa itu.
Foto: AP Photo/Ahn Young-joon
Petugas pemadam kebakaran dan anggota tim penyelamat melakukan evakuasi di dekat puing-puing pesawat penumpang Jeju Air 7C2216 di Bandara Internasional Muan di Muan, Korea Selatan, Ahad (29/12/2024). Pesawat Jeju Air 7C2216 yang membawa 175 penumpang dan enam kru dalam penerbangan dari Bangkok, Thailand jatuh terbakar dan meledak setelah mendarat dan kemudian menghantam tembok pembatas di bandara Internasional Muan. Data sementara 85 orang tewas dalam peristiwa itu.

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Kekhawatiran mengenai tantangan pemeliharaan dan perawatan oleh maskapai berbiaya rendah (LCC) muncul menyusul tragedi Jeju Air, menurut pengamat industri pada Kamis (2/1/2025). Data menunjukkan ketergantungan yang signifikan pada layanan perbaikan luar negeri untuk pemeliharaan kritis, seperti perbaikan mesin pesawat.

Kejadian kerusakan roda pendaratan pada pesawat Jeju Air B737-800 yang jatuh pada Ahad (29/12/2024) menimbulkan kekhawatiran bahwa maskapai itu mungkin mengutamakan sisi operasional pesawat dibandingkan waktu pemeliharaan yang memadai, sehingga berpotensi mengorbankan aspek keselamatan.

Baca Juga

Menurut data dari Kementerian Transportasi, biaya pemeliharaan yang dikeluarkan maskapai domestik di luar negeri mencapai 1,99 triliun won (sekitar 1,35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 21,9 triliun) pada tahun 2023, meningkat 58,2 persen dari 1,26 triliun won (atau sekitar Rp 13,9 triliun) pada 2019.

Kenaikan tersebut lebih signifikan pada LCC. Biaya pemeliharaan luar negeri oleh maskapai berbiaya rendah mencapai 502,7 miliar won (sekitar Rp 5,5 triliun) tahun lalu, meningkat 63,6 persen selama periode yang sama. Tingkat perbaikan oleh LCC yang dilakukan di luar negeri tercatat mencapai 71,1 persen pada 2023.

Di antara maskapai Korea Selatan, hanya Korean Air dan Asiana Airlines yang memiliki kapasitas untuk melakukan perbaikan besar, termasuk perbaikan mesin, karena mereka memiliki hanggar sendiri serta kapasitas pemeliharaan, perbaikan, dan overhaul (MRO).

Karena LCC tidak memiliki sumber daya tersebut dan harus melakukan alih daya (outsourcing) untuk perbaikan besar, opsi MRO domestik tetap terbatas, dengan hanya Korean Air dan Korea Aviation Engineering & Maintenance Service yang menawarkan layanan semacam itu.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement