Kamis 02 Jan 2025 17:46 WIB

Anwar Usman Beda Pendapat dalam Putusan Penghapusan Ambang Batas Capres, Ini Komposisinya

MK mengabulkan permohonan menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat memimpin jalannya sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Hakim Mahkamah Konstitusi Anwar Usman saat memimpin jalannya sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (29/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) mulai Pilpres 2029. Dari sembilan hakim konstitusi, ada dua hakim yang berbeda pendapat atau dissenting opinion.

"Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion)," tulis MK melalui website resminya yang dirilis pada Kamis (2/1/2025).

Baca Juga

Dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh. Sedangkan tujuh hakim konstitusi lainnya menyatakan setuju ambang batas 20 persen perolehan kursi di DPR RI sebagai prasyarat untuk pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan konstitusi.

Perkara ini dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna. Gugatan terhadap ambang batas ini beberapa kali diajukan banyak pihak, namun selalu kandas. Lantas, mengapa kali ini dikabulkan?

Ambang batas minimal atau presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik. Dalam konteks tersebut, Mahkamah menilai gagasan penyederhanaan partai politik dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk ketidakadilan.

"Selain itu, dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, disadari atau tidak, partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu serta-merta kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ujar Saldi.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement