REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengumumkan implementasi B40 per 1 Januari 2025. B40 adalah bahan bakar berisi campuran solar 60 persen dengan kelapa sawit 40 persen.
Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia mengatakan pihaknya baru saja melakukan rapat internal. Ada pembahasan secara detail terkait biodiesel. Ia kemudian menjelaskan apa yang menjadi hasil rapat tersebut.
"Kami sudah memutuskan dari Kementerian ESDM tentang peningkatan B35 ke B40, dan hari ini kita umumkan berlaku per 1 Januari 2025," kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (3/1/2025).
Dengan pemberlakuan mandatori kebijakan biodiesel 40 persen ini (B40), kuota pada 2025 naik menjadi 15,62 juta kiloliter (KL). Sebelumnya, volume B35 pada 2024 sebesar 12,98 juta Kl. Data Kementerian ESDM menunjukkan, penghematan devisa dari penerapan B35 pada 2024 mencapai angka 7,78 miliar dolar Amerika Serikat (AS), kemudian B40 pada 2025 memberi nilai manfaat penghematan devisi 9,33 miliar dolar AS (Rp 147,5 triliun).
Bahlil menerangkan, regulasi implementasi B40 ini sudah ditandatangani. "Termasuk alokasi ke masing-masing perusahaan yang membuat FAME (Fatty Acid Methyl Ester) dan juga perusahaan yang menjahit."
Ia mengatakan, pemerintah memperbaiki kadar air dalam penerapan B40 ini. "Sekarang kan kadar airnya 320, tapi masih ada langkah-langkah yang akan kita lakukan terkait dengana transportasi, karena kita meningkatkan spek kapal, sehingga kadar airnya betul-betul seminimal mungkin," ujar Bahlil.
Jika berjalan baik, lanjut dia, maka pada 2026 pemerintah sudah harus mendorong implementasi B50. Jadi apa yang terjadi saat ini (B40), termasuk mempersiapkan menuju pencapaian target tahun depan. Itu sesuai arahan Presiden Prabowo Subianto.
"Kalau ini kita lakukan maka impor kita terhadap solar, insya Allah dipastikan sudah tidak ada lagi di tahun 2026. Jadi sekaligus ini bagian daripada perintah Bapak Presiden tentang ketahanan energi, mengurangi impor," tutur Bahlil.
Lewat keterangan resmi Kementerian ESDM, penerapan B40 sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Presiden menetapkan ketahanan pangan dan energi sebagai prioritas nasional.
Sebelumnya, Wakil Menteri ESDM, Yuliot Tanjung memastikan kesiapan pelaksanaan program B40 dapat berjalan dengan baik. "Hari ini kami dengan tim turun mengecek kesiapan implementasi B40 yang akan dimulai pada 1 Januari 2025. Menteri ESDM telah menetapkan keputusan terkait implementasi ini, dan kami sudah melihat sendiri kesiapan dari sisi industri Fatty Acid Methyl Ester (FAME) sebagai bahan bakar nabati," ujar Wamen ESDM saat meninjau Kilang Pertamina Refinery Unit II Dumai, Riau, pada Jumat (27/12/2024).
Menurut Yuliot, kebutuhan biodiesel untuk mendukung mandatory B40 diperkirakan mencapai 15,6 juta kiloliter per tahun. Angka tersebut mencakup distribusi ke seluruh Indonesia, sehingga kesiapan dari sisi bahan baku dan rantai pasok menjadi prioritas utama.
Kementerian ESDM juga terbuka terhadap masukan dari berbagai badan usaha untuk memastikan kelancaran implementasi B40. Menurut Yuliot, tantangan dalam penerapan B40 tidak hanya terkait dengan ketersediaan bahan baku, tetapi juga kondisi geografis yang beragam di Indonesia.
"Kami mengharapkan masukan dari Pertamina Patra Niaga maupun badan usaha lain terkait tantangan implementasi B40. Misalnya, wilayah seperti Dumai yang relatif panas, atau daerah dataran tinggi dengan suhu lebih dingin, apakah ada impact yang perlu disiapkan baik oleh Pertamina maupun badan usaha BBM yang akan melaksanakan mandatori B40," ujar Yuliot.
PT Pertamina (Persero) telah menyiapkan dua kilang utama untuk mendukung produksi B40, yakni Refinery Unit III Plaju di Palembang dan Refinery Unit VII Kasim di Papua. Selain itu, pencampuran bahan bakar solar dengan bahan bakar nabati akan dilakukan oleh Pertamina Patra Niaga.
"Pada dasarnya, kilang kami rata-rata memproduksi bahan bakar B0, dan insya Allah siap untuk memproduksi B40. Kilang yang akan memproduksi B40 adalah RU III Plaju dan RU VII Kasim, sementara blendingnya dilakukan oleh Patra Niaga," ujar Direktur Operasi PT Kilang Pertamina Internasional (KPI), Didik Bahagia.
Selain B40, Pertamina juga telah berhasil memproduksi bioavtur atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) dengan campuran 2,4 persen bahan bakar berbasis sawit. Produksi ini dilakukan di Green Refinery Kilang Cilacap melalui metode co-processing. "Kapasitas pengolahan bioavtur saat ini mencapai 9.000 barel per hari (bph), dengan bahan baku dari produk turunan kelapa sawit, yaitu Refined Bleached Deodorized Palm Kernel Oil (RBDPKO). Uji coba telah dilakukan menggunakan pesawat Garuda Indonesia Boeing 737-800 untuk rute Jakarta-Solo pulang pergi," jelas Didik.