Selasa 07 Jan 2025 12:43 WIB

Ekonom Nilai Keanggotaan BRICS Tingkatkan Posisi Tawar RI di Mata OECD

Indonesia resmi menjadi anggota penuh BRICS.

Pekerja staf berdiri di belakang bendera nasional Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan, dan India untuk merapikan bendera menjelang foto bersama selama KTT BRICS di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Xiamen di Xiamen, Provinsi Fujian, Cina tenggara, Senin, 4 September 2017.
Foto: Hong/Pool Photo via AP
Pekerja staf berdiri di belakang bendera nasional Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan, dan India untuk merapikan bendera menjelang foto bersama selama KTT BRICS di Pusat Konferensi dan Pameran Internasional Xiamen di Xiamen, Provinsi Fujian, Cina tenggara, Senin, 4 September 2017.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menilai bahwa bergabungnya Indonesia ke dalam kelompok BRICS (Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) merupakan langkah strategis yang dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia di kancah global. Khususnya, lanjut dia, di mata OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development).

Hal ini diungkapkan Wijayanto menanggapi pengumuman resmi dari Brasil, sebagai Ketua BRICS 2025, mengenai peresmian keanggotaan penuh Indonesia dalam organisasi tersebut.

Baca Juga

“Saya rasa keputusan menjadi anggota BRICS adalah tepat, sepanjang kita juga tetap mendorong proses membership OECD. Indonesia adalah kekuatan ekonomi potensial di dunia ini, potensi itu harus di unlock dengan lebih berani mengambil sikap. Keputusan bergabung BRICS justru akan meningkatkan posisi tawar Indonesia di mata OECD yang selama ini seolah kita diposisikan tidak setara dengan negara lain,” ujar Wijayanto di Jakarta, Selasa (7/1/2025).

Terkait agenda dedolarisasi yang menjadi salah satu agenda BRICS, Wijayanto menilai bahwa fenomena ini akan terjadi secara alami seiring menurunnya dominasi ekonomi Amerika Serikat (AS). Peran ekonomi AS di dunia, meskipun akan tetap penting, cenderung menurun akibat munculnya kekuatan baru seperti China, India, Rusia, Brasil, Meksiko, atau bahkan Indonesia.

Menurut Wijayanto, tren dedolarisasi akan lebih banyak terjadi dalam konteks perdagangan antaranggota BRICS, seperti yang telah diterapkan China dan Rusia dengan menggunakan mata uang lokal untuk 90 persen transaksi ekspor-impor mereka.

photo
Menlu RI Sugiyono (berpeci) di antara kepala negara dan delegasi berpose di sela KTT BRICS Summit di Kazan, Rusia, Kamis, 24 Oktober 2024. - (Alexander Nemenov, Pool Photo via AP)
 

Namun, dirinya skeptis terhadap kemungkinan terciptanya mata uang alternatif global atau sistem transfer pengganti SWIFT dalam waktu dekat. “Indonesia perlu mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS dengan lebih banyak menggunakan mata uang lokal untuk ekspor-impor dengan negara lain. Kendatipun demikian, kita tidak perlu menjadikan dedolarisasi sebagai gerakan ekonomi-politik, ini akan kontraproduktif dan diluar kepentingan kita,” jelas Wijayanto.

Lebih lanjut, dalam pandangan Wijayanto, menjadi bagian dari BRICS juga memberikan kesempatan bagi Indonesia untuk ikut menentukan arah dan cetak biru organisasi tersebut ke depan. Ia menekankan pentingnya Tanah Air untuk memanfaatkan keanggotaan ini untuk membuka peluang kerja sama di berbagai bidang, seperti teknologi, ketahanan pangan, dan perubahan iklim.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement