Rabu 08 Jan 2025 16:25 WIB

75 Tahun Harris Effendi Thahar dan Nasib Sastra Koran

Sekitar tahun 1985 mula-mula mengenal nama Harris Effendi Thahar dari sebuah surat kabar terbesar koran di Indonesia pada masa itu.

Rep: MASPRIL ARIES/ Red: Partner
.
Foto: network /MASPRIL ARIES
.

Harris Effendi Thahar menerima plakat pada 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)
Harris Effendi Thahar menerima plakat pada 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)

KINGDOMSRIWIJAYA – Mengawali tahun 2025 tepatnya tanggal 4 Januari 2025, wartawan senior yang juga penulis Yurnaldi dari Padang di laman media sosial Facebook-nya mengunggah foto dan tulisan acara 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. Pada hari itu, Harris Effendi Thahar yang lahir 4 Januari 1950 tepat berusia 75 tahun.

Unggahan Yurnaldi membawa surut ingatan ke belakang, masa kuliah tahun 1980-an di Universitas Lampung (Unila). Sekitar tahun 1985 mula-mula mengenal nama Harris Effendi Thahar dari sebuah surat kabar terbesar koran di Indonesia pada masa itu, Harian Kompas. Nama Harris Effendi Thahar yang menyandang jabatan fungsional sebagai guru besar atau profesor dari Universitas Negeri Padang (UNP) dulu IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Padang menghiasi halaman koran edisi minggu dengan karyanya sebuah cerita pendek (cerpen).

Pekan-pekan berikutnya, cerpen Harris Effendi Thahar kerap menghiasi halaman minggu koran yang terbit dari Jakarta. Namanya pada masa itu sudah sejajar dengan penulis cerpen atau sastrawan Indonesia yang sudah lebih dulu tenar. Ada Putu Wijaya, Danarto, Hamsad Rangkuti, NH Dini, Bondan Winarno. Kemudian Pamusuk Eneste, Seno Gumira Ajidarmo, Sori Siregar, Ratna Indraswari Ibrahim, Leila S Chudori, Taufik Ikram Jamil, dan lainnya.

Hampir setiap Ahad, cerpen-cerpen karya penulis hebat tersebut menemani pembacanya di platform koran atau surat kabar. Karya para penulis tersebut adalah karya sastra bermutu dan berkwalitas, dibaca sekarang juga masih menarik. Saat itu juga muncul polemik, apakah cerita pendek yang terbit di koran atau surat kabar bisa disebut sebagai sebagai karya sastra. Sementara pada masa dekade 70-an ada istilah “sastra koran” yang digagas Ariel Haryanto.

Lantas siapa Harris Effendi Thahar? Apakah generasi milenial atau generasi Z tahu siapa Harris Effendi Thahar? Tahu atau tidak tahu siapa Harris Effendi Thahar, tentu perlu memberitahu kepada publik tentang sosok yang sukses sastrawan sekaligus sukses di dunia pendidikan dengan menyandang jabatan guru besar. Tak kenal maka tak tahu.


Kliping Cerpen Harris Effendi Thahar yang terbit tahun 1985. (FOTO: Maspril Aries)
Kliping Cerpen Harris Effendi Thahar yang terbit tahun 1985. (FOTO: Maspril Aries)

Di negeri ini sastrawan yang sukses meraih jabatan guru besar tak banyak, mereka adalah sastrawan yang hebat dan berpengaruh. Ada Sapardi Djoko Damono guru besar Universitas Indonesia, Budi Darma guru besar Universitas Negeri Surabaya, Kuntowijoyo guru besar Universitas Gajah Mada, Abdul Hadi WM guru besar Universitas Paramadina, Toeti Heraty Noerhadi guru besar Universitas Indonesia, Ajip Rosidi guru besar tamu Osaka Gaikokugo Daigaku (Universitas Bahasa Asing Osaka), dan tentunya Harris Effendi Thahar.

Cerita Pendek

Mengutip Yurnaldi, Harris karyanya mulai tersiar luas di media massa atau surat kabar yang terbit di Padang, saat ia menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Teknik Arsitektur FKT IKIP Padang. Saat itu ia terobsesi jadi pengarang.

Harris mencoba mengirim karya cerpen dan puisi ke koran Haluan yang selalu ia baca di kantin kampus. Masa itu Haluan merupakan koran terbesar di Padang. Ia mengirim karyanya kirim melalui pos, meskipun kantor redaksi koran tersebut dekat. Ia merasa malu datang ke kantor redaksi mengantarkan langsung karangan kalau-kalau tidak dimuatr. Ternyata karangannya dimuat. Waktu itu banyak teman kuliah memuji cerpennya.

Kepada mereka yang hadir acara 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”, Harris Effendi Thahar mengungkapkan rasa cemburunya pada Ashadi Siregar seorang dosen muda Universitas Gajah Mada (UGM) yang menulis cerita bersambung berjudul “Cinta ku di Kampus Biru” yang terbit setiap hari di Harian Kompas pada tahun 1972. Kemudian terbit sebagai novel tahun 1974 dan diadaptasi ke layar perak sebagai film berjudul sama dengan Sutradara Ami Prijono.

Berbekal rasa cemburu itu Harris menulis cerita bersambung (cerbung) berlatar kampus berjudul “Setelah Impian Berlalu” yang dimuat koran Haluan. Cerbung tersebut banyak dibaca mahasiswa masa itu dan honorariumnya dibelikan ketik baru baru. Sebelumnya Harris untuk menulis karyanya menumpang mengetik di mesin ketik TU (tata usaha) fakultas.

Sejak saat itu Harris Effendi Thahar semakin produktif, cerpennya mulai menembus koran-koran nasional atau koran yang terbit dari Jakarta dan peredarannya ke seluruh Indonesia.

Dalam perjalanan karir sebagai penulis, Harris yang juga menjadi pegawai negeri sipil di IKIP Padang juga sempat menjadi wartawan pada surat kabar yang terbit di Padang. Kemudian di IKIP Padang ia tercatat sebagai dosen di Fakultas Bahasa, Sastra, dan Seni. Tahun 1995 sempat mengajar Sastra Indonesia di Universitas Tasmania, Hobart, Australia.


Harris Effendi Thahar menyampaikan sambutannya pada perayaan 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)
Harris Effendi Thahar menyampaikan sambutannya pada perayaan 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)

Harris sukses menjadi sastrawan dan menjadi penulis cerpen yang produktif bermula dari kebiasaannya membaca yang sudah diperkenalkan sejak masih di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Solok. Oleh guru Bahasa Indonesia bernama Bustanul Arifin atau dikenal dengan panggilan Pak BA, ia ditantang untuk membaca tiga buku seminggu dan kemudian menceritakan isi buku yang dibaca kepada teman-teman di depan kelas.

Harris pernah mendapat hukuman dari Pak BA. Hukumannya berdiri di depan kelas. Belum cukup itu, Pak BA menyuruhnya datang ke rumah. Bersama temannya yang mendapat hukuman, membaca buku dan meringkas isi buku lalu membacanya. Berkat membaca bakat menulis pun tumbuh berkembang dalam dirinya.

Harris Effendi Thahar adalah nama yang tidak asing dalam dunia sastra Indonesia. Harris seorang penulis cerpen, penyair, sekaligus akademisi yang memberikan kontribusi signifikan pada perkembangan sastra, khususnya yang berhubungan dengan cerpen. dan puisi. Selain dikenal melalui karya-karya sastranya, ia juga merupakan seorang guru besar yang memadukan ilmu dan seni dalam setiap langkah hidupnya.

Selain produktif menulis cerpen di koran, Harris juga menulis dan menerbitkan sejumlah buku, diantaranya kumpulan cerpen “Si Padang”, kumpulan cerpen “Anjing Bagus”, kumpulan cerpen “Rumah Ibu” dan beberapa cerpennya terhimpun dalam buku kumpulan Cerpen Kompas, seperti “Kado Istimewa”, “Pelajaran Mengarang”, “Lampor”, “Laki-Laki yang Kawin dengan Peri”, “Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan”, “Dua Tengkorak Kepala”, “Beautiful Eyes” dan “Riwayat Negeri yang Haru”. Ia juga menulis buku non fiksi, “Kiat Menulis Cerpen” dan “Menulis Kreatif: Panduan Bagi Pemula”.

Menurut Harris dalam buku “Kiat Menulis Cerpen”, cerpen adalah salah satu jenis prosa fiksi, cerita naratif yang ditulis secara singkat. Fiksi berarti kisah yang tidak nyata, tidak benar-benar terjadi. Fiksi adalah fakta yang terhimpun dalam pengalaman batin seorang pengarang, lalu dikreasikan kembali dengan imajinasinya, sehingga menjadi sesuatu yang hidup dan menjadi suatu kenyataan baru.


Kliping Cerpen Harris Effendi Thahar judul
Kliping Cerpen Harris Effendi Thahar judul "Kebulatan Tekad" yang pada zaman Orba jadi tren politik dukungan. (FOTO: Maspril Aries)

Apakah cerpen termasuk karya sastra? Menurut Kevin Pardede dan kawan-kawan dalam ‘Semangat Patriotisme dalam Karya Sastra Indonesia: Menelusuri ‘Nilai-Nilai Kebangsaan Cerita Pendek dengan judul “Piloe”, bahwa karya sastra adalah satu cabang seni yang diciptakan dikarenakan adanya suatu ide dan juga perasaan serta pemikiran yang dilakukan oleh seseorang dan satu hal tersebut berkaitan dengan unsur budaya dan diungkapkan melalui bahasa.

Karya sastra merupakan suatu syarat nilai-nilai pengalaman kehidupan, seperti nilai religius, nilai psikologis, nilai sosial kultural, dan nilai moral menjadi basis pengembangan pendidikan karakter dan sikap. Cerpen atau cerita pendek ini adalah sebuah karya sastra yang menceritakan kehidupan seseorang, namun diceritakan melalui tulisan yang pendek, tidak lebih dari 10.000 kata.

Cerpen adalah suatu karya sastra yang berbentuk karya fiksi yang memiliki sifat alur cerita yang pendek, baik dari peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, bahkan jumlah kata yang pendek dan tidak menggunakan kata yang sulit. Menurut Edgar Allan Poe, cerpen merupakan cerita yang selesai dibaca dalam sekali duduk, dengan waktu sekitar setengah hingga dua jam.

Ada banyak studi atau karya ilmiah yang membahas cerpen-cerpen karya Harris yang tersebar di berbagai media massa dan buku. Seperti Yasnur Asri mengkaji cerpen “Si Padang” dalam “Analisis Sosiologis Cerpen ‘Si Padang’ karya Harris Effendi Thahar” (2011). Kemudian ada karya ilmiah yang dimuat dalam jurnal membahas buku kumpulan cerpen “Rumah Ibu” oleh Try Julian Adi Putra, Syafril dan Sudarmoko “Masalah Ibu dalam Kumpulan Cerpen Rumah Ibu Karya Harris Effendi Thahar: Tinjauan Sosiologi Sastra” (2022) dan “Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Kumpulan Cerpen Rumah Ibu Karya Harris Effendi Thahar” (2023) oleh Yulia Sartika dan Erizal Gani (2023).

Melalui pendekatan sosiologi Alan Swingewood terhadap cerpen karya Harris Effendi Thahar, para peneliti menarik kesimpulan secara umum bahwa cerpen-cerpennya adalah refleksi sosial masyarakat di Indonesia khususnya di Sumatera Barat atau Minangkabau. Menurut Sapardi Djoko Damono, karya sastra selalu menampilkan gambaran kehidupan, sedangkan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Dan menurut Umar Junus, karya sastra merupakan dokumen sosial budaya.


Kliping Cerpen Harris Effendi Thahar  (FOTO: Maspril Aries)
Kliping Cerpen Harris Effendi Thahar (FOTO: Maspril Aries)

“Karya sastra (cerita pendek) memberikan sudut pandang estetis terhadap persoalan kehidupan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, karya sastra dapat digunakan untuk memahami fenomena budaya masyarakat yang dijadikan latar cerita” tulis Jasril dalam “Penentangan Kaum Muda Minangkabau Terhadap Budaya Minangkabau Dalam Cerpen Harian Kompas” (2017).

Menurut Harris sendiri dalam disertasinya “Kekerasan dalam Cerpen-cerpen Koran Pilihan Kompas 1992-1999; Suatu Tinjauan Struktural Genetik” yang dipertahankannya pada 29 September 2006 di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) menyatakan, sastra merupakan refleksi suatu zaman.

Proses kreatif Harris Effendi Thahar dalam menulis cerpen adalah refleksi dari perpaduan antara pengamatan tajam terhadap kehidupan dan kedalaman berpikir. Ia dikenal sebagai penulis yang memiliki kemampuan untuk menangkap detail-detail kecil dari kehidupan sehari-hari dan mengolahnya menjadi cerita yang memikat.

Sastra Koran

Ada banyak cerpen karya Harris Effendi Thahar dan karya sastrawan hebat Indonesia era 70 dan 80-an yang sebagian besar terbit di berbagai surat kabar atau koran dan sebagian kecil di majalah sastra seperti majalah Horison yang sudah tidak terbit, sebelum media daring atau media online lahir. Cerpen tersebut kemudian disebut sebagai sastra koran.

Pada masa itu, atau era sebelumnya tidak dapat dibantah bahwa surat kabar atau koran berperan dalam memasyarakatkan sastra secara umum. Istilah “Sastra Koran” pertama kali diperkenalkan oleh Ariel Heryanto untuk menggambarkan fenomena karya sastra yang diterbitkan di media massa, terutama koran.

Istilah sastra koran biasanya dipakai untuk menjelaskan/ mengacu pada prosa, puisi atau drama yang diterbitkan dalam koran. Menurutnya, sejak awal kebangkitan sastra Indonesia telah menerima jasa penerbitan koran. Sumbangan koran bagi sastra berlanjut terus sejak masa sastra mutakhir Indonesia mulai muncul.

“Sungguh mengherankan sampai kini masih banyak pencinta sastra kita telah meremehkan koran! Penilaian untuk sastra cenderung muluk-muluk. Sementara itu kekuatan koran dianggap enteng”, tulis Ariel Haryanto dalam artikelnya berjudul “Sastra, Koran dan Sastra Koran” yang terbit di koran harian Sinar Harapan, 12 Januari 1985.


Perayaan 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)
Perayaan 75 Tahun Prof Harris Effendi Thahar “Si Padang”. (FOTO: FB Yurnaldi)

Sebelum koran atau media massa cetak memasuki masa senjakala, pada era 1970-an hingga 1990-an, media cetak (koran) memainkan peran penting dalam mempublikasikan karya sastra, termasuk cerpen dan puisi. Hal ini membuka peluang bagi banyak penulis, termasuk Harris Effendi Thahar, untuk menyampaikan ide-idenya kepada khalayak luas.

Sastra Koran memiliki beberapa karakteristik unik. Pertama, karya yang diterbitkan di koran biasanya memiliki keterbatasan ruang, sehingga menuntut penulis untuk menyampaikan cerita dengan singkat namun tetap bermakna. Kedua, cerpen di koran sering kali harus relevan dengan isu-isu kontemporer, menjadikannya media yang dinamis untuk mengomentari realitas sosial.

Harris Effendi Thahar adalah salah satu penulis yang berhasil memanfaatkan platform ini. Cerpen-cerpennya yang diterbitkan di berbagai koran menjadi cerminan dari kepekaannya terhadap isu sosial dan kemampuannya untuk mengemas cerita dalam format yang singkat namun mendalam.

Pada tahun 2007, seorang penyair Binhad Nurrohmat dalam artikelnya “Mendustai Sastra Koran” menulis bahwa sastra koran sama sekali bukan sejenis definisi sastra. Sastra koran merupakan suatu fenomena penciptaan literer yang luwes berkaitan, berkelindan, serta bertarik-ulur dengan suatu medium bernama koran yang menyimpan watak dalam dirinya yang senantiasa dinamis pada munculnya kemungkinan-kemungkinan perkembangannya sebagaimana dinamisnya bahasa dan cara kita memandang dan merumuskan manusia dan dunia.

Artikel ini mendapat tanggapan dari Sunaryono Basuki Ks cerpenis dan novelis menulis, bahwa sastra koran memang bukan genre sastra, tetapi hanya sekadar label yang menandai bahwa cerpen atau esai atau novel tersebut telah diterbitkan di koran. Tentu saja, saat terbit menjadi buku, mendadak dia menjadi sastra buku?

Dalam perspektif berbeda Putu Fajar Arcana yang pernah menjabat redaktur budaya Kompas, menyatakan, “Ruang sastra di koran mulai dianggap serius justru akibat kian redupnya majalah-majalah yang memuat sastra dan budaya, sebut saja Poedjangga Baroe, Budaya, Prosa, termasuk Horison Sastra koran tidak bisa lagi dianggap sepele. Pertumbuhan dan perkembangan sastra dilihat dari koran-koran” (2016).

Namun sastra koran kini sudah mulai dilupakan, nasibnya sama dengan senjakalanya koran atau surat kabar yang tutup atau tidak terbit lagi setelah sebelumnya banyak rubrik sastra, budaya dan seni yang tergusur karena koran mengurangi halamannya. (maspril aries)

sumber : https://kingdomsriwijaya.id/posts/503695/75-tahun-harris-effendi-thahar-dan-nasib-sastra-koran
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement