Senin 13 Jan 2025 15:25 WIB

Kasus Bripda F, Pakar Ungkap Dampak Psikologis Korban Pemerkosaan Dinikahkan dengan Pelaku

Korban pemerkosaan akan mengalami trauma berat dan merasa tak berharga.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Qommarria Rostanti
Pemerkosaan (ilustrasi). Menurut psikolog, pernikahan antara pelaku dan korban pemerkosaan tidak semestinya dilakukan.
Foto: Foto : MgRol112
Pemerkosaan (ilustrasi). Menurut psikolog, pernikahan antara pelaku dan korban pemerkosaan tidak semestinya dilakukan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Psikolog dari Universitas Indonesia, Prof Rose Mini Agoes Salim, menyesalkan praktik pernikahan antara korban dan pelaku pemerkosaan. Dia menegaskan hal itu bisa berdampak negatif pada psikologis korban.

“Ketika korban menikah dengan pelaku, itu pasti akan membuat korban tidak nyaman dan hal itu tidak semestinya dilakukan. Saya heran juga kenapa si pelaku diberi kesempatan untuk melakukan pernikahan dengan korban ini,” kata Guru Besar Psikologi UI itu saat dihubungi Republika.co.id, Senin (13/1/2025).

Baca Juga

Pernyataan Prof Rose ini sebagai tanggapan atas kasus Bripda F, anggota Polda Sulawesi Selatan yang pada Oktober 2023 dilaporkan karena diduga memperkosa dan memaksa korban untuk aborsi. Bripda F juga dikabarkan menikahi korban agar terhindar dari sanksi Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH).

Namun mirisnya, setelah menikah, Bripda F diduga tidak memiliki itikad baik untuk bertanggung jawab layaknya suami kepada istrinya, Bripda F pun dikabarkan menolak tinggal serumah dan menelantarkan istrinya tersebut. Menurut Prof Rose, tindakan yang dilakukan Bripda F sudah keterlaluan. Karena korban pada akhirnya harus mengalami pengabaian kembali, di mana itu dapat memparah kondisi psikologis korban.

“Makanya menurut saya, ketika korban diperkosa dia sudah hancur dan merasa tidak berharga lagi. Kemudian sekarang korban dicampakkan lagi, double itu penderitaannya, karena setelah jadi istri pun tidak mendapatkan haknya,” kata Prof Rose.

Prof Rose mengatakan korban pemerkosaan akan mengalami trauma berat, di mana mereka merasa tidak berharga, merasa tidak suci, dan merasa tidak memiliki masa depan. Alih-alih dinikahkan dengan pelaku, korban seharusnya diberikan pendampingan oleh professional agar bisa pulih.

“Jadi bukan malah dinikahkan, bukan begitu caranya membuat korban pulih. Korban juga pasti tidak ada perasaan cinta, jadi mungkin dia mau karena tidak memiliki power untuk mengungkapkan. Jadi buat orang sekeliling korban, yang dibantu harusnya pemulihan korban dulu, bagaimana dia bisa merasa percaya diri kembali, bisa melihat kehidupan kembali,” kata Prof Rose.

Ketika korban belum bisa pulih dari traumanya, maka dikhawatirkan dia mengalami depresi berat. Menurut Prof Rose, individu yang mengalami depresi berisiko tinggi untuk menarik diri dari kehidupan sosial dan bahkan bunuh diri.

“Macam-macam dampaknya, ada yang menarik diri dari lingkungan, kemudian lari pada hal yang buruk seperti konsumsi alkohol, ada juga narkoba, atau juga bisa jadi bunuh diri. Agar korban tidak mengalami hal itu, kita harus membantu korban untuk bisa menata dirinya, bangkit, dan tidak merasa dirinya kotor,” kata Prof Rose.

Kehidupan adalah anugerah berharga dari Allah SWT. Segera ajak bicara kerabat, teman-teman, ustaz/ustazah, pendeta, atau pemuka agama lainnya untuk menenangkan diri jika Anda memiliki gagasan bunuh diri. Konsultasi kesehatan jiwa bisa diakses di hotline 119 extension 8 yang disediakan Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hotline Kesehatan Jiwa Kemenkes juga bisa dihubungi pada 021-500-454. BPJS Kesehatan juga membiayai penuh konsultasi dan perawatan kejiwaan di faskes penyedia layanan
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement