Jumat 17 Jan 2025 05:27 WIB

Lemak Perut dan Peringatan Buncit dalam Islam

Lemak perut dan buncit bisa mendatangkan masalah kesehatan.

Perut buncit. IDAI menyatakan, 40 persen orang di Jakarta berusia 14 ke atas mengalami obesitas sentral atau buncit. (ilustrasi)
Foto: www.freepik.com
Perut buncit. IDAI menyatakan, 40 persen orang di Jakarta berusia 14 ke atas mengalami obesitas sentral atau buncit. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejumlah penelitian dan pakar kesehatan telah menyampaikan tentang bahaya dari perut buncit. Lemak berlebih di perut berkaitan dengan beberapa penyakit seperti diabetes dan penyakit kardiovaskular.

Di dalam Islam, sebenarnya sudah diajarkan tentang bahaya perut buncit dan kegemukan. Nabi Muhammad SAW sendiri telah memberi teladan dengan postur yang baik dan tidak buncit.

Baca Juga

Abu Hurairah RA berkata :

“Rasulullah SAW dada dan perut beliau rata.” (HR. Ibn Sa’ad).

Hadits lainnya disebutkan, dari Ummu Hani, dia menuturkan, "Saya tidak melihat bentuk perut Rasulullah kecuali saya ingat lipatan kertas-kertas yang digulung antara satu dengan yang lainnya". (HR. Ath-Thabarani).

Dalam riwayat lain, "Perutnya (Rasulullah) bagai batu-batu yang tersusun".

Dalam salah satu Hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda:

Generasi terbaik adalah generasi di zamanku, kemudian masa setelahnya, kemudian generasi setelahnya. Sesungguhnya pada masa yang akan datang ada kaum yang suka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersaksi sebelum diminta kesaksiaannya, bernazar tapi tidak melaksanakannya, dan nampak pada mereka kegemukan. (HR Bukhari-Muslim)

Imam al-Qurtubi menjelaskan, hadits ini adalah kritik bagi orang gemuk. Karena gemuk yang bukan bawaan penyebabnya banyak makan, minum, santai, foya-foya, selalu tenang, dan terlalu mengikuti hawa nafsu. Ia adalah hamba bagi dirinya sendiri dan bukan hamda bagi Tuhannya, orang yang hidupnya seperti ini pasti akan terjerumus kepada yang haram.

Keteladanan juga datang dari sahabat Nabi. Misalnya, Umar bin Khattab  pernah bertemu seseorang di jalan, dan bertanya kepadanya; “Kenapa perutmu besar seperti ini (buncit)?“, tanya Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu. “Ini karunia dari Allah,” jawab orang tersebut. “Ini bukan berkah, tapi azab dari Allah!”, seru Umar.

Umar pun melanjutkan: “Hai sekalian manusia, hai sekalian manusia. Hindari perut yang besar. Karena membuat kalian malas menunaikan sholat, merusak organ tubuh, menimbulkan banyak penyakit. Makanlah kalian secukupnya. Agar kalian semangat menunaikan sholat, terhindar dari sifat boros, dan lebih giat beribadah kepada Allah.”

Pada suatu hari, Khalid bin Walid menyuguhkan makanan kepada Khalifah Umar bin Khattab. ''Makanan ini untukku?'' tanya Umar. ''Mana makanan untuk orang-orang miskin dan kaum Muhajirin yang acap kali mati kelaparan,'' tanya Umar lagi. 

''Mereka mendapat surga tuan,'' jawab Khalid. "Kalau mereka mendapat surga, sedangkan kita hanya mendapat makanan ini, mereka sungguh lebih beruntung daripada kita,'' tegas Umar.

Kisah ini menunjukkan kepada kita bahwa hidup ini sesungguhnya bukan hanya soal perut. Seorang Muslim, seperti dicontohkan Khalifah Umar, tidak boleh teperdaya oleh kenikmatan sesaat yang bersifat duniawi, tetapi ia harus selalu ingat tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu kebahagiaan abadi di akhirat kelak.

Untuk mencapai tujuan ini, seorang Muslim, seperti ditunjukkan Umar tadi, harus mampu menjaga dan mengendalikan perutnya. Mengapa perut? Jawabnya, karena secara rohani perut merupakan salah satu organ tubuh yang paling sulit dikendalikan. Ia paling banyak menuntut, memakan biaya besar, dan sangat berbahaya karena ia merupakan sumber lahirnya keinginan-keinginan buruk (syahwat).

Dalam kitab Minhaj al-'Abidin, Imam Ghazali mengingatkan agar seorang Muslim mampu menjaga perutnya, terutama dari dua hal ini. Pertama, dari semua perkara yang haram dan syubhat. Kedua, dari berfoya-foya atau berpuas-puas diri meskipun dari perkara yang halal.

Larangan pertama harus dijauhi, karena dalam Islam pemakan barang haram diancam dua keburukan besar. Pertama, siksa api neraka. Firman Allah, ''Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).'' (An-Nisa': 10).

Kedua, ibadah dan kebaikannya tertolak (mathrud). Hal ini karena Allah SWT adalah Tuhan Yang Mahasuci. Ia tidak akan menerima kecuali hamba-Nya yang suci. Itu sebabnya, kata Ghazali, orang yang junub tak boleh masuk masjid (An-Nisa: 43) dan orang yang hadats tak boleh menyentuh Alquran (Al-Waqi'ah: 89). Pemakan barang haram, karena kotor tak mungkin mendapat ridha Tuhan, meski ia beribadah siang dan malam. Sabda Rasulullah SAW, ''Siapa makan barang haram, maka Allah tidak akan menerima semua ibadahnya, wajib maupun sunat.'' (RH Dailami).

Larangan kedua, berfoya-foya atau berpuas-puas diri harus pula dijauhi karena hal ini mengandung keburukan-keburukan yang amat banyak. Imam Ghazali menyebutkan sepuluh keburukan. Di antaranya, hati orang yang berbuat demikian menjadi keras dan mati. Ibarat tanaman, kalau terendam banjir, ia pasti mati.

Berikutnya, ia cenderung lapar dan cenderung melakukan hal-hal yang dilarang oleh Allah. Berikutnya lagi, ia cenderung malas beribadah. Karena terlalu kenyang, ia menjadi berat hati dan malas melakukan kebaikan-kebaikan. Keburukan yang lain lagi, ia bakal tercekal dalam pemeriksaan amal di akhirat, lantaran semua harta yang dimiliki harus diregistrasi ulang dan diaudit secara transparan. Jadi, ia tidak akan bisa lari dari hisab, lalu azab. Na'udzu billah.

 

sumber : Dok Republika
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement