"Jadi ini beneran, ya? Kamu bakal pindah?”
“Iya, Rak. Kemungkinan minggu depan.”
“Kok bisa secepat itu?”
Halo semuanya, kenalin aku Raka, sahabat sejati Nizam. Kami udah kenal sejak kecil, selalu satu sekolah dari SD sampai sekarang. Mungkin itu sebabnya orang-orang sering manggil kita ‘duo kembar tak sama.’ Tapi belakangan ini, persahabatan kita mulai terasa renggang, karena salah satu dari kita akan pindah sekolah. Ya, si Nizam! Yang bikin aku bingung, dia nggak pernah ngasih tau alasan yang jelas. Padahal, aku pikir aku adalah orang yang paling dia percaya. Rasanya aneh, dan sedikit menyakitkan.
“Zam, kita udah bareng selama 8 tahun. Apa aku masih kurang layak buat tahu alasan kamu pindah?”
“Bukan gitu, Rak. Aku nggak pernah bermaksud ngumpetin ini dari kamu...”
Percakapan seperti ini terulang lagi dan lagi. Setiap hari, Nizam selalu menghindar, dan aku semakin merasa jengkel. Pindah sekolah bukan hal kecil, itu bisa mengubah semuanya. Aku takut, takut kalau persahabatan ini nggak akan sama lagi. Hingga akhirnya, tepat sehari sebelum Nizam pindah, dia mendatangiku. Ada sesuatu dalam tatapan matanya kali ini, kesedihan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Rak, kali ini aku mau bilang yang sebenarnya. Keluarga yang kamu kenal selama ini... mereka bukan keluarga kandungku. Aku dititipkan ke mereka sejak masih bayi. Dan sekarang, keluarga asliku sudah menjemputku... aku harus pergi bersama mereka.”
Wajahku seketika pucat. Dadaku terasa sesak, dan pikiranku kosong. Matakunmembulat, aku menatapnya, tak percaya. Semua ini... terlalu mendadak.
“Kenapa nggak bilang dari dulu, Zam?” suaraku gugup, mencoba menyusun rasa kecewa yang mendadak meluap.
“Aku baru tahu beberapa bulan lalu. Keluarga kandungku tinggal di kota lain, dan mereka ingin aku tinggal bersama mereka,” jawabnya dengan suara serak.
Aku menelan ludah, berusaha menerima kenyataan ini. “Jadi... kita nggak akan satu sekolah lagi, ya?”
Nizam tersenyum, tapi senyum itu penuh kepedihan. “Iya, Rak. Tapi aku janji, aku nggak akan pernah lupa sama kamu. Kita masih bisa temenan, kan?”
Aku berusaha tersenyum, meski hatiku terasa berat. “Nggak apa-apa, Zam. Mungkin kita nggak sering ketemu lagi... tapi aku selalu ada buat kamu.”
Tanpa berkata lagi, kami saling merangkul. Saat itu, kami berdua tahu bahwa meskipun jarak akan memisahkan kami, persahabatan ini akan selalu tertinggal di hati seperti jejak yang tak akan pernah pudar.
Penulis: Muhammad Aiffu Madani Kurnianto
SMA Antartika Sidoarjo