Selasa 21 Jan 2025 07:04 WIB

Kuat di Darat dan Laut, Sejarawan Barat Catat Kekuatan Militer Kesultanan Aceh

Kesultanan Aceh memiliki kekuatan militer yang sangat kuat.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Muhammad Hafil
Wanita Aceh berbusana adat membawa air dan bunga saat berziarah dalam rangka memperingati Hari Pahlawan di situs sejarah Makam Pahlawan Nasional Laksamana Malahati, perbukitan desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (9/11/2020). Laksamana Malahayati, seorang wanita Aceh yang memiliki sekitar 2.000 pasukan Inong Bale (wanita janda) dan sejumlah armada kapal perang yang berjuang mengusir Belanda pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (1585-1604) itu ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh presiden Joko Widodo pada 6 November 2017.
Foto: AMPELSA/ANTARA
Wanita Aceh berbusana adat membawa air dan bunga saat berziarah dalam rangka memperingati Hari Pahlawan di situs sejarah Makam Pahlawan Nasional Laksamana Malahati, perbukitan desa Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (9/11/2020). Laksamana Malahayati, seorang wanita Aceh yang memiliki sekitar 2.000 pasukan Inong Bale (wanita janda) dan sejumlah armada kapal perang yang berjuang mengusir Belanda pada masa Kesultanan Aceh Darussalam (1585-1604) itu ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh presiden Joko Widodo pada 6 November 2017.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kesultanan Aceh membuat sejarawan barat bernama Jan Jakobus Franciscus WAP kagum. Berdasarkan hasil penelitiannya, Kesultanan Aceh memiliki kekuatan militer yang sangat kuat baik di darat maupun di laut.

Jan Jakobus Franciscus dalam bukunya berjudul Het Gezantschap van den Sultan van Achin 1602 aan Prins Maurits van Nassau en de Oud-Nederlandsche Republiek yang diterbitkan tahun 1862, mengungkapkan bawa Kesultanan Aceh memiliki banyak gajah.

Baca Juga

Jan Jakobus Franciscus dalam bukunya menulis, "Pandangan kami bersama dengan Tuan Valentijn, selayang pandang pada Kesultanan Aceh, sesuai dengan apa yang disebutnya, maka sebenarnyalah, bahwa yang berkuasa itu adalah Maharaja yang terbesar di seluruh Sumatera, yang gelarnya antara lain disebut: seorang raja yang mempunyai gajah yang bergading, yang berwarna, yang merah, yang hitam, yang putih dan yang belang."

"Seorang raja yang kepadanya dikaruniai Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pakaian gajah-gajah itu dengan perhiasan emas dan batu permata (ratna mutu manikam), juga sejumlah besar dari gajah peperangan dengan ketakencana di atas punggungnya, yang mana gading-gadingnya berbalutkan besi dan diberi bersepatu tembaga." (Dikutip dari laman Majelis Adat Aceh)

Jan Jakobus Franciscus dan Valentijn dalam buku tersebut mengungkapkan bahwa Kesultanan Aceh yang dipimpin Sultan Aceh mempunyai 40.000 hingga 50.000 tentara yang dapat dikerahkan ke medan perang. Tentara tersebut dilengkapi persenjataan sebanyak 2.000 hingga 3.000 pucuk meriam yang dapat dibawa lengkap dengan mesiu dan pelurunya.

Sultan Aceh juga mempunyai 1.000 ekor gajah yang dalam dipergunakan dalam perang, dan 200 kapal perang yang telah diturunkan ke air lengkap dipersenjatai dengan meriam-meriam dan alat perang lainnya.

Kapten kapal berkebangsaan Belanda, Jhon Davis yang mengunjungi Aceh pada tahun 1598 M mencatat tentang hasil industri perang Aceh. Dalam catatanya, Sultan Aceh mempunyai banyak meriam, kekuatan pertahanannya juga diperkuat dengan pasukan gajah. 

Duta Besar Perancis, Agustine Beaulieu mendapat mandat penuh dari rajanya untuk mengantar surat dan berunding dengan Sultan Iskandar Muda penguasa Kesultanan Aceh atau Kerajaan Aceh Darussalam.

Agustine Beaulieu membuat catatan seperti ini setelah mengunjungi Aceh:

"Gajah cukup banyak (di Kesultanan Aceh). Binatang ini amat penting sekali dan dibutuhkan di peperangan. Kapal-kapal yang akan dinaikkan ke pantai untuk digalang dan disimpan, gajah yang menarik kapal-kapal itu. Ditaksir tidak kurang dari 900 ekor gajah kepunyaan sultan sendiri. Semua gajahnya tahu menjalankan tugas dalam peperangan, sudah terlatih untuk lari, untuk berbelok, untuk berhenti, duduk berlindung dan sebagainya."

Penulis Perancis Francois Martin de Vitre yang tinggal di Aceh dari 24 Juli hingga 20 November 1602 juga menulis tentang penggunaan gajah untuk eksekusi mati para pelanggar hukum berat, dengan cara diinjak atau ditarik hingga badannya hancur.

Hal yang sama juga ditulis Agustine de Beaulieu utusan Perancis yang melakukan misi dagang ke Aceh selama dua tahun (1620-1622). Pengalamannya selama perjalanan dan menetap di Aceh itu turut ditulis dalam Memories d’un voyage aux indes orientalis 1619-1622.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement