REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beragam pendapat tentang awal mula Islam tersebar di Minangkabau. Buya Hamka dalam buku Sejarah Umat Islam, misalnya, menyebutkan, pada 684 koloni Arab di pesisir barat Sumatra sudah terbentuk. Pendapat lainnya datang dari PM Holt yang menyebut, perkembangan Islam di Minangkabau bermula dari pesisir Pariaman, setelah masuknya dakwah agama ini ke Aceh pada abad ke-14.
Adapun disertasi Amir Syarifuddin untuk IAIN Syarif Hidayatullah (1982) mengungkapkan tiga tahap Islamisasi di Minangkabau.
Tahap pertama berlangsung melalui jalur perdagangan yang terjadi antara penduduk lokal dan para pelaut Muslim asal Arab, Persia, dan Gujarat. Mereka tidak hanya berniaga, tetapi juga menyampaikan ajaran Islam. Bahkan, sebagian di antaranya menikah dengan perempuan setempat. Islam dinilai berkesesuaian dengan falsafah adat Minangkabau yang memang sudah mengakar lama saat itu.
Tahap kedua berlangsung sekira abad ke-15 di sekitar pesisir barat Minangkabau. Kali ini, dakwah Islam terjadi dengan perantaraan para saudagar Aceh. Memang, daerah di ujung Pulau Sumatra itu lebih dahulu menerima risalah Islam. Pada tahap inilah dakwah Islam berkembang pesat dan lebih sistematis dalam menjangkau seluruh penduduk Minangkabau.
Tahap ketiga ditandai dengan perkembangan Islam dari daerah rantau (pesisir) ke darek (dataran tinggi). Mengutip Holt, kaum darek lebih belakangan dalam menerima Islam karena di sanalah para pemangku adat memegang peran dalam akulturasi kebudayaan Hindu-Buddha (Jawa) yang diinisiasi Kerajaan Pagaruyung.
Pergerakan dakwah dari pantai ke pedalaman ini dikiaskan dengan ungkapan, “Syara’ mandaki, adat manurun.” Artinya, penyebaran syariat dan ajaran-ajaran Islam mulai naik ke dataran tinggi.
Buku Pertautan Budaya Sejarah Minangkabau dan Negeri Sembilan (2017) menjelaskan kedatangan Islam dari dua daerah pesisir (barat dan timur Sumatra) terjadi pada tahap ini. Dari pantai sebelah timur Minangkabau, ada Kerajaan Kuntu. Adapun dari pantai barat Minangkabau, melalui Pariaman, Islam disebarluaskan oleh murid-murid Syekh Burhanuddin Ulakan, seorang salik Tarekat Shatariyah dan pernah berguru pada mufti Kerajaan Aceh Syekh Abdur Rauf as-Singkili.
View this post on Instagram