Selasa 28 Jan 2025 10:44 WIB

Bait al-Hikmah, Simbol Kosmopolitan Islam

Perpustakaan ini menjadi pusat intelektual paling maju dan berkembang pada masanya.

Aktivitas intelektual di Bait al-Hikmah, Baghdad, era Abbasiyah.
Foto: dok wiki
Aktivitas intelektual di Bait al-Hikmah, Baghdad, era Abbasiyah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Baghdad, sejak dirintis pada paruh kedua abad kedelapan Masehi, menampilkan wajah Dinasti Abbasiyah sebagai pusat peradaban dunia. Sejarah menyaksikan, kerajaan Islam tersebut berhasil mengangkat Baghdad sebagai kota kosmopolitan paling maju pada masanya.

Di sana, keberagaman budaya dirayakan di bawah kedaulatan islami. Penduduknya terdiri atas orang-orang Aramaik, Persia, Arab, serta pelbagai umat beragama, baik Muslim maupun non-Muslim. Semuanya hidup berdampingan secara aman dan damai.

Baca Juga

Sultan Harun al-Rasyid (wafat 809) merintis perpustakaan besar yang dinamakannya Bait al-Hikmah (‘Rumah Kebijaksanaan’). Sesudah mangkatnya, lembaga ini semakin cemerlang di bawah kendali anaknya, Sultan al-Ma’mun. Bait al-Hikmah terus berkembang menjadi pusat koleksi pelbagai pustaka dari penjuru dunia, serta penerjemahan teks-teks pengetahuan ke dalam bahasa Arab.

Sultan Harun al-Rasyid dan penerusnya, Sultan al-Ma’mun, sangat mencintai ilmu pengetahuan. Mereka mengumpulkan begitu banyak naskah berbahasa Yunani, Cina, Sanskerta, Persia, dan lain-lain untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Pada awalnya, naskah-naskah yang dialihbahasakan sebatas bertema kedokteran, matematika, dan astronomi. Akan tetapi, belakangan pelbagai bidang keilmuan lainnya turut diseriusi.

Rasa cinta penguasa Dinasti Abbasiyah terhadap buku begitu besar. Bahkan, beberapa perang besar yang dilakukan wangsa ini berakhir dengan perundingan yang mensyaratkan penyerahan buku. Misalnya, perang antara Abbasiyah dan Romawi Timur. Salah satu poin yang diwajibkan sultan Abbasiyah terhadap Byzantium adalah penyerahan naskah-naskah buah tangan astronom Yunani Kuno, Ptolemeus, kepada Bait al-Hikmah. Setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, naskah-naskah tersebut dinamakan ulang sebagai Almagest.

Karya ini dan dua buku lainnya, yakni Siddhanta dari India dan Zij-i Syahriyari dari Persia Kuno, kemudian menjadi masukan penting bagi para astronom Muslim mengeksplorasi lebih presisi lagi posisi benda-benda langit. Di samping itu, mereka juga mengadakan sejumlah koreksi besar atas hasil observasi astronom-astronom dari masa silam itu. Demikian dikutip dari buku karangan Joseph A Angelo, Encyclopedia of Space and Astronomy dan Science and Civilization in Islam karya Seyyed Hossein Nasr.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement