Selasa 28 Jan 2025 06:31 WIB

Isra Miraj dan Perjalanan Menembus Langit Ketujuh

Isra Miraj bukan hanya tentang menembus batas fisik.

Langit (Ilustrasi).
Foto: dok pxhere
Langit (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Isra Miraj adalah kisah yang telah diceritakan berulang-ulang dengan beragam tafsir, dari yang sederhana hingga yang paling filosofis.

Kisah tentang perjalanan Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, lalu naik ke langit ketujuh dalam pertemuan yang melampaui batas ruang dan waktu, telah menjadi bagian tak terpisahkan dari peradaban Islam.

Baca Juga

Namun, di balik narasi agung itu, tersimpan makna yang lebih dalam, lebih dari sekadar mukjizat fisik dan lebih dari sekadar perjalanan satu malam.

Ustadz Dr KH Khoirul Huda Basyir, Lc, M.Si dalam salah satu kajiannya pernah menyebut perjalanan ini sebagai perjalanan meninggalkan bumi yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf dan semua umat Islam untuk mendapatkan maqam tinggi berupa ridha dan ma’rifat Allah.

Saat direnungkan kembali, Isra Miraj menyimpan makna yang amat dalam sebagai laku spiritual yang tak hanya terjadi di masa lalu, tetapi terus berulang di dalam setiap pencarian manusia akan makna kehidupan, seperti sebuah cermin yang merefleksikan diri.

Perjalanan itu dimulai dalam gelap, dalam sunyi, dalam kehampaan yang sesungguhnya. Malam, dengan segala keheningannya, menjadi latar bagi sebuah keajaiban yang melampaui nalar manusia.

Gelap bukan sekadar ketiadaan cahaya, tetapi juga ruang perenungan dan ruang kosong yang memungkinkan seseorang untuk melihat sesuatu yang tak terlihat di siang hari.

Dalam gelap itu, Nabi Muhammad dijemput oleh Buraq, makhluk yang digambarkan bercahaya, bergerak lebih cepat dari kilatan petir. Tetapi, bukankah ini metafora bagi jiwa manusia yang mencari cahaya di antara kelamnya kehidupan?

Setiap perjalanan spiritual, dalam bentuk apapun, selalu dimulai dari kegelapan, dari kebingungan, dari ketidakpastian, dari pencarian yang terus-menerus akan jawaban.

Isra Miraj bukan hanya tentang Nabi Muhammad, tetapi juga tentang manusia dan pencariannya. Setiap orang memiliki "Buraq"-nya sendiri, entah itu dalam bentuk ilmu, kebijaksanaan, atau pengalaman hidup yang mengantarkan mereka menuju pemahaman yang lebih tinggi.

Tidak ada perjalanan yang benar-benar seketika, tidak ada lompatan yang tanpa dasar. Setiap langkah menuju pemahaman yang lebih tinggi selalu diawali dengan perjalanan panjang di bumi, dengan pijakan kuat pada realitas.

Masjidil Aqsa

Sebelum naik ke langit, Nabi Muhammad terlebih dahulu melewati Masjidil Aqsa, tempat berkumpulnya para nabi.

Sebuah pertemuan simbolik yang menunjukkan bahwa setiap perjalanan menuju kebenaran tidak pernah terputus dari masa lalu, dari sejarah, dari jejak-jejak kebenaran yang telah lebih dulu hadir.

Tetapi, bagian yang paling menakjubkan dari Isra Miraj bukanlah perjalanannya, melainkan apa yang ditemukan di ujung perjalanan.

Di Sidratul Muntaha, Nabi Muhammad bertemu dengan Dzat Yang Maha Agung, dalam keheningan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Ini adalah momen puncak dari pencarian manusia, pertemuan dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri, pertemuan dengan hakikat yang selama ini dikejar, dengan kebenaran yang tak lagi bisa dijelaskan oleh logika manusia.

Setiap orang, dalam hidupnya, menginginkan satu hal yakni pemenuhan, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar yang selalu menghantui.

Dan jawaban itu, sering kali, bukan dalam bentuk kata-kata, melainkan dalam bentuk kesadaran, dalam bentuk pemahaman bahwa ada sesuatu yang jauh lebih besar dari apa yang bisa dijangkau oleh akal manusia.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement