REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pernyataan Presiden Prabowo dalam pidatonya sempat viral, menyebut bahwa bagi masyarakat kecil, bermain saham sama saja dengan berjudi — hanya pihak besar yang menang. Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani menekankan pentingnya edukasi pasar modal sejak dini, bahkan menyarankan agar pendidikan investasi saham diajarkan di Sekolah Dasar. Jadi, apakah investasi saham itu judi atau sebuah langkah finansial bijak? Yuk, kita bedah bersama!
Kilas Balik: Pengalaman Awal Berinvestasi Saham
Pasar modal Indonesia kini jauh lebih maju dibandingkan dua dekade lalu. Teknologi canggih, proses transaksi sangat cepat, setoran awal lebih terjangkau, literasi yang meningkat serta pedoman investasi syariah membuat investasi saham semakin inklusif. Namun, bagaimana kondisi pasar modal di era 1990-an?
Penulis pertama kali membeli saham saat masih mahasiswa pada tahun 1995, dengan membeli saham Telkom (TLKM) saat IPO-nya sebagai investasi jangka panjang. Namun, pada masa itu, investasi saham terasa seperti dunia yang eksklusif. Prosesnya belum bisa dilakukan secara online, dan untuk membuka akun sekuritas, diperlukan deposit awal yang mencapai jutaan rupiah. Transaksi dilakukan melalui telepon dengan bantuan broker, dan kepemilikan saham dicatat dalam sertifikat fisik yang rawan hilang atau rusak.
Selain itu, literasi pasar modal masih minim, dan stigma negatif seperti judi atau riba sering melekat pada investasi saham. Hal ini menimbulkan keraguan di kalangan investor, termasuk penulis sendiri. Setelah menyimpan saham tersebut selama satu atau dua tahun, penulis akhirnya menjualnya dengan keuntungan besar karena kenaikan harga saham yang signifikan. Meski pengalaman itu menyenangkan, keraguan terkait aspek syariah dan literasi pasar modal membuat penulis berhenti berinvestasi.
Perkembangan Pasar Modal: Dari Kemajuan Teknologi hingga Fatwa DSN-MUI
Seiring waktu, pasar modal Indonesia menunjukkan perkembangan pesat, ditandai oleh kemajuan teknologi dan regulasi yang menciptakan kondisi lebih inklusif bagi investor ritel. Gagasan pasar modal syariah mulai mencuat pada tahun 1997, diikuti pendirian DSN-MUI pada 1999 untuk memberikan panduan ekonomi syariah. Fatwa pertama tentang pasar modal syariah, yaitu Fatwa Nomor 20/DSN-MUI/IV/2001, dirilis pada 18 April 2001. Fatwa ini memastikan instrumen seperti saham, sukuk, dan reksa dana memenuhi prinsip syariah, bebas dari riba, gharar, dan maisir. Keberadaan fatwa ini memberikan kepercayaan diri yang lebih bagi investor dalam berinvestasi, meski polemik atas penerapannya masih ada.
Transformasi Pasar Modal: Dari Tradisional ke Digital
Sejak awal 2000-an, digitalisasi mengubah wajah pasar modal Indonesia. Berkat Jakarta Automated Trading System (JATS) dan perdagangan online mempermudah akses bagi investor ritel. Jika dulu deposit awal mencapai Rp5-25 juta, sekarang banyak perusahaan sekuritas menawarkan deposit Rp0-1 juta saja. Perubahan teknologi membuat proses lebih cepat, efisien, dan biaya lebih murah. Kompetisi perusahaan sekuritas untuk mendapatkan nasabah semakin meningkat.
Hingga Desember 2024, data KSEI mencatat 14,84 juta investor terdaftar. Kehadiran 927 Galeri Investasi BEI yang tersebar di berbagai lokasi seperti di kampus dan kafe, guna mempermudah edukasi.
Main Saham vs. Investasi: Dua Hal yang Berbeda
Berinvestasi saham adalah membeli sebagian bisnis perusahaan. Investor bijak menggunakan analisis fundamental untuk memahami kinerja dan prospek perusahaan sebelum menanamkan modal. Sebaliknya, main saham bersifat spekulasi dengan upaya mencari keuntungan dari pergerakan harga jangka pendek tanpa analisis mendalam.
Spekulasi dalam saham terjadi ketika seseorang membeli dan menjual dalam waktu singkat, seperti dalam hitungan menit, jam, atau dalam sehari. Contohnya, jika seseorang mengetahui bahwa suatu perusahaan sedang merugi atau bahkan bangkrut, tetapi tetap membeli sahamnya hanya karena adanya pergerakan bandar, maka tindakan tersebut bukanlah investasi, melainkan spekulasi tinggi.
Tujuannya semata-mata mengambil keuntungan dari pergerakan harga tanpa mempertimbangkan fundamental perusahaan yang buruk dan valuasi yang sudah terlalu mahal. Karena tidak didasarkan pada analisis investasi yang jelas, spekulasi ini sangat berisiko. Oleh karena itu, penting untuk memiliki pemahaman yang baik sebelum terjun ke pasar modal.
Edukasi Pasar Modal: Penting Sejak Usia Dini
Mengapa edukasi pasar modal penting? Dengan literasi yang baik, di tengah jumlah investor yang semakin meningkat, masyarakat dapat membedakan investasi bijak dari spekulasi. Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan mendorong agar edukasi pasar modal dimulai dari Sekolah Dasar.
Edukasi ini mencakup pemahaman dalam memilih saham perusahaan berkualitas, mengenali investasi bodong serta memahami risiko. Selain itu, pihak berwenang yang mengelola Bursa Efek juga harus berupaya memastikan bahwa hanya perusahaan dengan kinerja dan fundamental yang baik yang dapat masuk ke bursa melalui proses IPO yang ketat. Hal ini penting untuk melindungi masyarakat dari investasi yang merugikan dan mencegah aktivitas manipulasi, seperti 'menggoreng' saham perusahaan yang tidak sehat.
Kesimpulan: Investasi untuk Masa Depan
Berinvestasi saham adalah tentang membeli bisnis, bukan sekadar angka di layar. Investor bijak harus memahami nilai perusahaan, menggunakan analisis fundamental, dan memiliki visi jangka panjang. Dengan literasi yang tepat, pasar modal dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan, bukan arena spekulasi yang merugikan.
Mari manfaatkan kemajuan teknologi dan regulasi pasar modal untuk menjadi investor cerdas. Saatnya mengubah pasar modal menjadi mesin pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, bukan sekadar permainan untung-untungan. Selamat berinvestasi bijak!
Penulis: Irwin Ananta Vidada, Dosen Program Studi Manajemen, Universitas Bina Sarana Informatika (UBSI)