REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Periode 100 hari masa pemerintahan Presiden RI Prabowo Subianto dan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka diwarnai dengan beragam dinamika nasional keagamaan.
Salah satu yang mengemukan adalah wacana untuk meliburkan anak-anak sekolah sebulan penuh sebulan Ramadhan. Wacana ini sebenarnya bukanlah gagasan baru.
Pada era pemerintahan Presiden RI ke-IV, Abdurrahman Wahid, sekolah pernah diliburkan selama sebulan penuh bulan Ramadhan.
Wakil Menteri Agama (Wamenag) Romo HR Muhammad Syafi’i mengungkapkan adanya wacana libur sekolah selama bulan Ramadhan. Namun, pihaknya belum melakukan pembahasan soal itu.
"Bacaannya kayaknya ada, saya belum bahas itu,” ujar Romo Syafi'i kepada wartawan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (30/12/2024).
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof Abdul Mu'ti. Menurut dia, kebijakan pemerintah untuk meliburkan sekolah selama Ramadhan masih berupa wacana.
Dia mengatakan, yang berwenang untuk menerapkan kebijakan tersebut berada di tingkat Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI ataupun Presiden.
"Itu saya kira levelnya di atas kami ya, apakah itu di tingkat Menko atau mungkin malah langsung di tingkat Pak Presiden kami belum tahu," ujar Abdul Mu'ti saat menghadiri acara "Taklimat Media Akhir Tahun 2024" di Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Wacana ini pun menuai beragam respons dari masyarakat. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) merespons Kementerian Agama (Kemenag) yang memunculkan wacana meliburkan sekolah selama Ramadhan yang diperkirakan jatuh pada awal Maret 2025 nanti. P2G mewanti-wanti lima dampak negatif dari wacana tersebut.
Pertama, P2G menyayangkan pemerintah yang memandang pendidikan secara dikotomis dengan kegiatan keagamaan. P2G menyebut pendidikan dan keagamaan mestinya dipandangnya komprehensif.
"Bahwa menuntut ilmu dan puasa Ramadhan sama-sama perintah agama. Sehingga keduanya jangan dipisahkan. Justru Ramadhan anak-anak belajar itu dapat nilai ibadah berlipat ganda saat Ramadhan," kata Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim kepada Republika, Jumat (3/1/2025).
Kedua, P2G khawatir hal ini berdampak negatif terhadap pertumbuhan anak. Sebab anak-anak kalau diliburkan selama sekolah berpotensi malah terjebak kegiatan negatif seperti game daring.
"Waktu dihabiskan untuk bermedsos, akses konten terlarang justru mereka tidak ibadah," ujar Satriwan.
Apalagi anak berpotensi tak didampingi orang tua dengan lengkap saat libur selama Ramadhan. Sebab para orang tua tetap mesti bekerja selama Ramadhan
"Di rumah nggak ada pengawasan orang tua, ketika sekolah libur ortunya tetap kerja. Anak di rumah tak dipantau. Alih-alih anak beribadah di rumah, malah tidak," ujar Satriwan.
Ketiga, P2G mengkhawatirkan kebijakan ini berdampak negatif pada penghasilan guru swasta karena 95 persen madrasah di bawah Kemenag ialah swasta. Satriwan mengamati sangat banyak madrasah menengah ke bawah yang gajinya hanya sekitar Rp 500 ribu sebulan.
"Kalau sekolah libur, orang tua nggak mau bayar SPP penuh. Maka yayasan akan kurangi gaji guru karena pendapatannya berkurang. Padahal konsumsi masyarakat naik termasuk guru baik untuk Ramadhan dan Lebaran," ujar Satriwan.